A. Latar Belakang
Sebagaimana
halnya daerah-daerah di Sulawesi Selatan pada umumnya yang berasal dari
kerajaan-kerajaan kecil, rasanya kurang lengkap bila tidak membahas salah satu
kerajaan tertua yaitu Kerajaan Wajo. Pada masa jayanya, Kerajaan Wajo meliputi
beberapa wilayah seperti Kabupaten Sidrap, Bone dan Soppeng serta seluruh
wilayah Kabupaten Wajo saat ini. Menurut beberapa sumber, Wajo dibentuk sekitar
tahun 1300-an oleh tiga pemimpin negeri, yaitu Bentengpola, Talok Tenreng dan
Tuwa. Ketiga pemimpin negeri yang masing-masing disebut Arung ini sepakat
membentuk kerajaan bersama yang dipimpin oleh seorang Arung Matowa. Tahun 1948
adalah tahun berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo, ketika pemerintah Republik
Indonesia menghapuskan kekuasaan raja di daerah. Reruntuhan kerajaan yang
nyaris tak berbekas seolah tak mampu mengungkap kebesarannya. Bahkan kini hanya
tersisa satu komunitas pewaris Kerajaan Wajo, yaitu keluarga atau Rumpung
Bentengpola. Rumpung Bentengpola merupakan komunitas yang menjadi pilar utama
Kerajaan Wajo.
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang
pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya.
Adapun konsep pemerintahan adalah:
- Kerajaan
- Republik
- Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
B.
Sejarah
Lahirnya Tanah Wajo
Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
- Versi Puang Rilampulungeng
- Versi Puang Ritimpengen
- Versi Cinnongtabi
- Versi Boli
- Versi Kerajaan Cina
- Versi masa Kebataraan
- Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari
Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama
LATENRI BALI Tahun 1399, di bawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan
sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan
beberapa versi, yakni:
- Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
- Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
- Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
- Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari
Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah
ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa
ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
C.
KABUPATEN WAJO
Kabupaten
Wajo adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sengkang. Kabupaten ini memiliki
luas wilayah 2.056,19 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa.
Kabupaten
Wajo, di Provinsi Sulawesi Selatan, memiliki iklim tropis. Suhu udara
bervariasi antara 29 hingga 30 derajat Celcius. Di musim kemarau antara Juli
hingga Oktober. Sedang di musim hujan, April hingga Juli. Musim bersuhu lembab
mulai Nopember hingga Maret. Curah hujan rata-rata 3000 mm dengan 120 hari
hujan. Kesuburan lahan pertanian dapat dikemas dalam paket wisata agro,
terletak di ketinggian antara 0 hingga 500 meter dari permukaan laut.
Ibu
Kota Wajo yaitu Sengkang dikenal sebagai penghasil kain sutra. Wisatawan
tinggal pilih jenis produksi Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan gendongan yang
beragam antara lain: sarung, baju, blus, dasi, atau cendera mata berupa tas
pesta, kipas dan sepatu. Kota Sengkang Sebuah kota mengesankan ketika bisa
mereservasi semua bangunan tua yang menjadi penanda kan suatu masa yang lampau,
sekaligus menjaga nilai luhur tersebut ke dalam masa kini. Jika diterjemahkan
secara sederhana, suatu kota akan mengesankan ketika mempertahankan bangunan
tuanya. Kita merasakan sebuah masa yang lewat, namun tetap hadir
membayang-bayangi masa kini. Ada sesuatu yang spiritual di kota-kota seperti
itu sebab ada banyak bangunan tua yang dipertahankan. Misalnya bangunan Saoraja
atau istana di masa silam. Juga banyak rumah-rumah warga yang masih
dipertahankan bentuk aslinya yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu.
Sementara
Danau tempe dikenal sebagai penghasil ikan tawar, juga telah menjadi kawasan
wisata. Danau tempe terbentang laksana cermin raksasa di sisi barat ibu kota
Kab. Wajo yaitu sengkang. Danau
ini memiliki pesona alam yang elok dan unik. Perkampungan nelayan primitif
bernuansa Bugis berbanjar sepanjang tepian danau. Rutinitas keseharian dan
aktifitas masyarakat nelayan penangkap ikan yang berlatar belakang rumah-rumah
terapung memiliki ciri khas kehidupan dipermukaan danau. Setiap
tahun masyarakat nelayan menggelar pesta “Maccera Teppareng” sebagai pernyataan
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil yang telah diperoleh dari Danau tempe.
Pesta ritual nelayan ditepi danau itu telah dimasukkan ke dalam “of even parawisata Sul-Sel” digelarkan samaan dengan pelaksanaan Festival Danau
Tempe setiap Agustus tambah menarik disertai berbagai atraksi seni dan budaya
masyarakat Wajo. Ada karnaval
perahu hias bugis, lomba perahu antar nelayan danau dan pertunjukan berbagai
permainan tradisional rakyat seperti mappitupitu (Layang-layang bermusik).
Berjarak dua kilometer arah timur kota Sengkang, dekat danau lampulung.
Pemda
Wajo telah membangun kawasan budaya berlokasi seluas 4 HA di kampung Atakka’e.
Di situ
terdapat bangunan duplikat rumah adat. Salah satu diantaranya yang terbesar
dari bangunan duplikat lainnya, adalah Seoraja (Istana Raja) La Tenribali salah
seorang raja (arung matoa wajo).
Sekitar
12 Km bagian timur Kota Sengkang terdapat pula danau Tosora. Tempo doeloe (era
kerajaan), Tosora berfungsi sebagai ibu kota kerajaan Wajo dikelilingi delapan
danau kecil. Luas Tosara 1,428 Ha.
Di
seputar kota Sengkang terdapat sejumlah Goa (terowongan) bekas tempat
perlindungan/pertahanan serdadu Jepang dimasa perang dunia II berkecamuk.
Tempat itu amat menarik untuk wisata petualangan (adventure).
Di Desa Gilireng Kec. Maniangpajo, terdapat tambang Gas alam yang
memiliki deposit yang cukup besar sekitar 563.0 BSCF dan 100 MESCDF gas
delivery. Potensi gas alam tersebut telah dieksploitasi buat keperluan energi
listrik sejak tahun 1999 yang mesin pembangkitnya (PLTU) dibangun di Patila
Kecamatan
Pammana.
A. Sejarah Terbentuknya Kerajaan Wajo
1. Kerajaan Cinnatobi
Pada pertengahan abad XIV La Paukke Putera La Palekke (Arung Mampu) dengan We Cenning (Keturunan Datu Cina) bersama orang-orang cina (Pammana) membuka perkampungan baru, yang dinamakan Cinnotabi. Pekerjaan masyarakatnya ada yang berkebun, bertani, menyadap tuak, menangkap ikan, berburu dan bekerja dihutan untuk mengambil buah-buahan untuk dimakan.
La Paukke merupakan bangsawan yang tertinggi di antara orang-orang yang ada, pandai memimpin pengikutnya, jujur, dan berbudi luhur, sehingga orang-orang pada berdatangan masuk ke Cinnotabi dan tidak keluar, sehingga semakin ramailah perkampungan Cinnotabi.
Pengikut dan orang-orang Cinnotabi sepakat untuk menggangkat La Paukke sebagai Arung Cinnotabi yang pertama (tidak diketahui lamanya memerintah). Setelah Raja La Paukke meninggal dunia, digantikan oleh puterinya We Panangngareng yang bersuamikan La Matatikka Arung Sajoanging. Suaminyalah yang membantu melaksanakan pemerintahan di Cinnotabi (We Panangngareng adalah Arung Cinnotabi yang kedua, lamanya memerintah tidak diketahui juga).
Setelah We Panangngareng meninggal dunia ia digantikan oleh puterinya We Tenrisui, sebagai arung Cinnotabi ketiga. Seperti ibunya suami We Tenrisui La Rajangllangi Arung Babauae yang juga melaksankan pemerintahan. Mereka mempunyai tiga orang putera yang bernama La Patiroi, La Pawawoi, dan La Patongai. Dengan persetujuan para anang La Rajangllangi membagi Cinnotabi menjadi empat lingkungan yang disebut “limpo” (wilayah), yaitu: Cinnotabi, Majauleng, Sabbamparu, Takkalalla. Keempat limpo tersebut dipandang suatu keluarga besar. Limpo yang pertama selalu memakai nama negeri untuk keseluruhan limpo.
Untuk mengatur pemerintahan ditempatkan empat orang anang yang digelar “Matoa Pabbicara” (pembicara yang dituakan). Mereka bertugas sebagai penyambung lidah keluarganya (rakyatnya) dan mendampingi limpo di tingkat pusat. Pada masa pemeintahan La Rajangllangi inilah untuk pertama kalinya dikenal adanya perjanjian antara raja dengan seluruh rakyat yang diwakili oleh Matoa Pabbicara. Perjanjian ini disebut “Perjanjian Cinnotabi” yang isinya adalah :
1.
(salipuri temmacekke /
selimuti kami supaya tidak dingin)
2.
(dongiri temmatippekeng / jagalah kami seperti halnya menjaga
burung pipit)
3.
(tanrereakkeng asalakeng / sannagilah kesalahan kami)
4.
(alakki atongengekkeng / berikanlah kebenaran kami atau kemerdekaan
kami)
5.
(warekkengekeng amaradekangekkeng / gengamkanlah hak-hak
kemerdekaan kami)
6.
(asseriakkeng abiasakkeng / kuatkanlah kebiasaan kami)
Makasud dari isi
perjanjian di atas adalah, raja wajib menjaga hak-hak kebebasan rakyatnya dan
raja berkewajiban mempersatukan rakyatnya. Setelah We Tenrisui dan La
Rajangllangi meninggal dunia. Digantikan oleh putera sulungnya La Patiroi
menjadi Arung Cinnotabi bertambah ramai dan wilayahnya semakin luas pula. La
Patiroi memerintah dengan jujur, sabar, dan tanaman jadi berhasil (tidak
diganggu binatang), sehingga kenyanglah orang-orang Cinnotabi.
Karena kerajaan
cinnotabi semakin besar dan penduduknya semakin banyak maka untuk melaksanakan
pemerintahan dengan baik seperti biasa, tidaklah mampu apabila hanya dilakukan
oleh seorang raja dan dibantu oleh keempat matowa Pabbicara, sehingga
berdasarkan kesepakatan antara arung Cinnotabi dengan matowa Pabbicara sesuai
kebutuhan. Diangkatlah empat puluh matowa Pabbicara (sepuluh orang setiap
limpo), yang dinamakan “Arung Patapuloe” ri cinnotabi.
Arung Cinnotabi bersama dengan matowa pabbicara yang
berjumlah empat puluh orang menetapkan peraturan bertigkah laku bagi lapisan
masyarakat yaitu :
1.
Wari, yang membedakan antara arung, anakarung, orang-orang merdeka
atau dengan kata lain wari adalah tatakrama yang membedakan golongan atas
dengan golongan bawah, antara yang baik dan yang buruk, jujur dan culas serta
kebenaran dan
kepalsuan.
2.
Tata cara bertingkahlaku sesuai dengan adat bagi kaum bangsawan dan
tahu tongengkaraja (orang baik-baik/tau deceng) yaitu peraturan adat yang
mengatur baik cara berkata maupun cara bertingkah laku serta cara berperkara
yang menyangkut perkara tuntut menuntut (perdata).
Mereka yang
diangkat matowa pabbicara pada umumnya adalah
mereka dari golongan yang berpengaruh ditiap-tiap limpo dan pedusunan. Untuk
meningkatkan prestise dan wibawa arung, maka matowa pabbicara diberi gelar
“Arung Mabbicara” yang bertugas membantu raja di bidang peradilian, sedang La
Patiroi diberi gelar baru: puetta ri cinnotabi atau petta ri cinnotabi”. Pada
masa pemerintahan La Patoroilah
untuk pertama kalinya ada lembaga musyawarah. Apabila arung patapulo’e duduk
bermusyawarah, cara duduk diurut sesuai “wari” (tata krama), yang didahulukan
adalah yang tua, menyusul yang kedua dan seterusnya. La Patiroi memerintah
kurang lebih empat puluh tahun lamanya lalu mangkat.
Setelah La Patiroi
wafat, beliau digantikan oleh kedua yaitu La Tenribali dan La Tenritippe. Di sinilah
pertama kalinya satu negeri diperintah oleh dua orang. Hanya penempatan
keduanya tidak satu tempat, mereka dimukimkan berseberangn sungai. Satu dibagian
timur sungai dan satu bagian barat sungai.
Dalam menjalankan
pemerintahannya mereka mempunyai kekuasaan, kewenangan, kebesaran dan kemuliaan
yang sama. Perangkai keduanya berbeda dalam melaksanakan tugasnya, putera yang
tertua La Tenribali senantiasa dalam mengambil keputusan selalu didasarkan atas
musyawarah dengan dewan arung patapulo’e dan tetap menghormati hak-hak matoa
mabbicara, terutama dalam hal mengadili perkara. Adapun yang bungsu La
Tenritippe kadang-kadang melanggar hak-hak kebebasan orang-orang cinnotabi yang
pada akhirnya dapat membawa penderitaan.
Setelah beberapa
lamanya mereka memerintah berdua, semakin sering kehendak mereka berbeda dan
tidak dapat seia sekata, La Tenritippe melanggar hak-hak kebebasan orang-orang
Cinnotabi demikian juga orang-orang Cinnotabi tidak betah diperintah oleh dua
orang raja.
Awal pertentangan antara kedua raja tersebut adalah ketika
menyelesaiakan perkara dua orang dan ternyata tidak menghadirkan orang perkara,
demikian juga matowa pa’bicara dan La Tenribali.
Merasa diperlalukan dengan tidak adil oleh La Tenritippe dan memacu
ketidakpuasan penduduk Cinnotabi. Ketidak adilan tersebut ditanggapi oleh
rakyat cinnotabi denga cara berkelompok-kelompok untuk membicarakan tindakan La
Tenritippe dan semuanya sepakat bahwa perbuatan mengadili tanpa pemeriksaan salah
satu pihak dan tanpa kehadiran Matowa pabbicara dan La Tenribali termasuk
perbuatan tercela yang disebut rirempekeng
bicara (dilempari keutusan). Mereka menganggap bahwa “dilempari keputusan
adalah melanggar hak kebebasan).
Dari peristiwa tersebut kita dapat melihat betapa solidaritasnya
rakyat cinnotabi yang sangat berkeberatan terhadap tindakan salah seorang
rajanya. Ini dapat disimpulkan bahwa rasa keadilan dan kesadaran hukum
orang cinnotabi pada waktu itu sudah sangat kuat.
Karena keadaan yang demikian semakin sering dilakukan,
situasi semakin memburuk, rakyat diperlakukan tidak adil, akhirnya rakyat
menggunakan hak-haknya sesuai isi perjanjian cinnotabi dimana raja berjanji
akan menjamin kebenaran yang diperintah, meneguhkan adat kemerdekaan dan
mengetangkan (meluruskan) adat kebiasaan mereka, tidak dihalangi kebebasan
mereka kemana saja mereka akan pergi.
Ketiga putera La Patongai, La Tenritau, La Tenripekka, La
Matarang (sepepe sekali Arung Cinnotabi La Tenribali) ketila dilihatnya
orang-orang cinnotabi semakin menderita sepakatlah ketiganya untuk meninggalkan
cinnotabi dengan membawa anak isterinya serta harta bendanya (malleke dapureng)
pindah ke Boli. Banyak orang cinnotabi yang ikut serta termasuk tiga orang
matowa pa’bicara yaitu Matowa Majauleng, Matowa sabbamparu , Matowa takkalalla
serta para bangsawan dan orang baik-baik.
Ketika sampai di Boli
mereka membagi tiga diri mereka dalam tiga kelompok dan memilih mendiami daerah
pilihannya masing-masing. Daerah tempat La Tenritau
berdiam
bersama pengikutnya dinamakan majauleng, sedangkan yang diplih La Tenripekka
bersama pengikutnya disebut Sa’bamparu serta La
Matareng dinamakan Takalalla.
Mata pencaharian
mereka adalah bersawah, berkebun, menyadap tuak, menangkap
ikan, berburu dan mengambil buah-buahan yang dapat dimakan di hutan.
Ketiga negeri tersebut diperintah oleh ketiga orang pemimpin masing-masing
dalam daerah pilihannya (berfederasi) dan menyebut nama perserikatannya adalah lipu=tellu-kajuru’e yang berarti negeri
yng berserikat yang terdiri dari tiga daerah bagian (seperti halnya buah
kemiri).
Adapun La
Tenribali dan La Tenritippe ketika menyaksikan banyaknya orang cinnotabi yang
meninggalakan negeri mereka, maka keduanya dengan disertai orang-orang yang
masih tinggal juga meninggalkan cinnotabi dan pergi ke penrang, saebawi dan
sarinyameng membuka negeri. Sedangkan We Tenrigau sepupu satu kali Arung
Cinnotabi yang masih tinggal akhirnya membongkar istana cinnotabi dan di bawanya
ke Mampu dan tinggal di Mampu. Maka berakhirlah pemerintahan di Cinnotabi.
D. Asal Mula Kerajaan Wajo
Wajo
berarti bayangan atau bayang-bayang
(wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 605
tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan
besar pada saat itu. Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa bugis yang
artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan
bersepakat membentuk kerajaan wajo Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat
yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Kerajaan
wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang
menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut
"Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu
Cinnotabi.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya
bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi,
menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya,
LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang
diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan
dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan
tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata
Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi
perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI
TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya
Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA
PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO. Berdasarkan perjanjian tersebut, maka
dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru
didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo,
dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Versi
yang paling di kenal yaitu pembentukkan kerajaan wajo berdasarkan lontara Bugis
sekitar tahun 1450 yaitu kisah We Tadampali seorang putri dari kerajaan Luwu
yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau dihanyutkan hingga
masuk daerah tosora. Daerah itu kemudian disebut majauleng berasal dari kata
maja (jelek/sakit) oli'(kulit. Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di
tempat yang kemudian dikenal sebagai sakkoli (sakke'=pulih ; oli = kulit)
sehingga beliau sembuh.
Saat
beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru.
Sehingga suatu saat datang seorang pangeran dari bone (ada juga yang mengatakan
soppeng) yang beristirahat di dekat
perkampungan we tadampali. Singkat kata, mereka
kemudian menikah dan menurunkan raja-raja wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan
yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan umumnya. Tipe
kerajaan wajo bukanlah feodal murni tapi kerajaan elektif atau demokrasi
terbatas.
Ada
tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya Wajo.
yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian
diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya beliau bertemu dengan putra
Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk
dinasti di Wajo.
Ada juga
tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau
ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan
struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak
kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut
diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.
E.
Perkembangan Kerajaan Wajo
Dalam
sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, Kawasan ini mengalami masa keemasan pada
zaman Arung Matowa Wajo IV La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi
anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai
saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo
memeluk Islam secara resmi di tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru Patau
Mulajaji Sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo.
Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan
sebelumnya, Dato Ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato
ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana.
Wajo
terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di
dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai
To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak
menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga
Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga
berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak
masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di
daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo
yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini
dikenal sebagai Samarinda.
Pada
pemerintahan La Salewangeng To Tenrirua Arung Matowa ke-30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan
militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta
melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng
menjadi Arung Matowa-31
dilantik disaat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik
di antara kerajaan-kerajaan di Sul-Sel. La
Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk
jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan
Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan
dari perjanjian Bungaya.
Pada
zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan
Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Wajo. Kekalahan Bone melawan Kompeni
juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada
Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large
Veklaring.
Wajo di bawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya
Negara Indonesia Timur, berbentuk Swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah
Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama Swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten
pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara
maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di
Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling,
selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
F.
Kepemimpinan di Kerajaan Wajo
1.
Raja – Raja Wajo
Menurut semua
sumber yang ada, ada 42 Raja (Arung Matowa) yang pernah memimpin Kerajaan Wajo.
Namun sumber itu belum dijamin kevalidannya tapi bisa menjadi suatu bayangan
bagi kita tentang raja-raja pada kerajaan wajo zaman dahulu. Berikut adalah
nama-nama
raja Wajo dan masa pemerintahannya:
1.
La
Palewo to Palippu (±1474-1481)
2.
La Obbi
Settiriware (±1481-1486)
3.
La
Tenriumpu to Langi (±1486-1491)
4.
La
Tadampare Puangrimaggalatung (±1491-1521) Lowong 3 tahun
5.
La Tenri
Pakado To Nampe (±1524-1535)
6.
La
Temmassonge (±1535-1538).
7.
La
Warani To Temmagiang (±1538-1547).
8.
La
Malagenni (±1547)
9.
La
Mappauli To Appamadeng (±1547-1564)
10. La Pakoko To Pa’bele’ (±1564-2567)
11. La Mungkace To Uddamang (±1567-1607)
12. La Sangkuru Patau Mulajaji (±1607-1610)
13. La Mappepulu To Appamole (±1612-1616)
14. La Samalewa To Appakiung (±1616-1621)
15. La Pakallongi To Alinrungi (±1621-1626)
16. To Mappassaungnge (±1627-1628).
17. La Pakallongi To Alinrungi (1628-1636),
18. La Tenri lai to Udamang (1636-1639)
19. Isigajang To Bunne (±1639-1643),
20. La Makkaraka To Patemmui (±1643-1648).
21. La Temmasonge (±1648-1651)
22. La Paramma To Rewo (±1651-1658)
23. La Tenri Lai To Sengngeng (±1658-1670)
24. La Palili To Malu’ (±1670-1679)
25. La Pariusi Daeng Manyampa (±1679-1699),
26. La Tenri Sessu (±1699-1702)
27. La Mattone’ (±1702-1703)
28. La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
29. La Tenri Werung (±1712-1715)
30. La Salewangeng To Tenriruwa (±1715-1736)
31. La Maddukkelleng Daeng Simpuang (±1736-1754) Arung
Singkang (Pahlawan Nasional )
32. La Mad’danaca (±1754-1755)
33. La Passaung (±1758-1761)
34. La Mappajung puanna salowo (1761-1767)
35. La Malliungeng (±1767-1770) Lowong 25 tahun
36. La Mallalengeng (±1795-1817) Lowong 4 tahun
37. La Manang (±1821-1825). Lowong 14 tahun
38. La Pa’dengngeng (±1839-1845) Lowong 9 tahun
39. La Pawellangi PajumperoE (±1854-1859).
40. La Cincing Akil Ali (±1859-1885)
41. La Koro (±1885-1891)
42. La Patongai Datu Lompulle
Korte
Veklaring 1906 menyebabkan berubahnya status kerajaan Wajo menjadi bagian dari
jajahan Belanda dan berubahnya struktur kerajaan menjadi Onder-Afdeling Wajo
dibawah Afdeling Bone.
43. Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916)
Lowong 10 tahun
44. A.Oddangpero Datu Larompong (1926-1933)
45. A.Mangkona Datu Mario (1933-1949)
Arung
Matowa (peralihan).
46. Sumangerukka datu pattojo (ex patola putra AMW
44) 1949
47. A. Ninnong (ex ranreng tuwa) 1949
Pemerintah Daerah era transisi (1950-1957)
48. A.Pallawarukka (ex pilla)
49. A. Magga Amirullah (ex sulewatang pugi)
50. A. Pallawarukka (masa jabatan kedua)
51. Bupati (1957-sekarang)
B. Masa Pemerintahan Batara Wajo
Setelah negeri Lipu-Tellu-Kajurue di
Boli semakin ramai dan penduduknya semakin bertambah, maka La Tenritau, La
Tenripekka dan La Matareng mengumpulkan penduduk negeri Lipu-Tellu-Kajurue di
Boli untuk membicarakan mengenai pengangkatan seorang raja untuk memerintah
negeri gabungan mereka (Lipu-Tellu-Kajurue). Dalam musyawarah itu diputuskan untuk
mengutus orang tua di Boli guna
mengundang La Tenribali di Penrang agar bersedia berkunjung ke Boli.
La Tenribali diiring oleh para
pemuka masyarakat penrang tiba di Boli, bersama orang tua-tua di Boli.
La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng menyampaikan hasil musyawarah
orang-orang Boli, yaitu mereka sepakat untuk mengangkat La Tenribali menjadi
“arung mataesso (raja matahari) di Boli yang bertugas antara lain untuk
mengayomi rakyat Boli dengan melaksanakan hukum adat yang pernah dipakai oleh
La Patiroi Arung Cinnotabi yang diwarisinya dari La Rajangllangi sehingga
Cinnotabi jaya.
Permohonan
itu diterima oleh La Tenribali dengan mengusulkan agar perjanjian/ pelantikan
diadakan di Majauleng dua hari kemudian yang harus dihadiri oleh seluruh
penduduk negeri Boli (Lipu-Tellu-Kajurue), mulai dari anak-anak, orang tua dan
wanita dewasa.
La
Tenribali menyetujui meneguhkan dan melaksanakan kembali hukum adat terdahulu
di Cinnotabi dan mengusulkan supaya ditetapkan “ade assituruseng” (hukum dan
adat yang dibuat atas kehendak bersama) yang dapat memakmurkan rakyat,
membesarkan negeri, dan tempat berteduh rakyat.
Sebelum janji diucapkan oleh La
Tenribali, para ranreng (La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng) secara
sukarela melepaskan jabatannya masing-masing sebagai raja. Mereka mengangkat
dirinya menjadi pa’danreng (pendamping dan pembantu raja) di tingkat
pemerintahan pusat sambil menjadi kepala limponya masing-masing
(merupakan kerajaan unataristis yang berotonomi). Jabatan baru mereka adalah,
La Tenritau Ma’danreng ri Majauleng, La Tenripekka Ma’danreng Ri Sabbamparu,
dan La Matereng Ma’danreng Ri Takalalla.
La Tenribali mengucapkan janji di bawah
sebuah pohon besar yang bernama pohon
bajo bertempat diwilayah majauleng, perjanjian itu disebut “perjanjian majauleng” yang berbunyi:
“yang dijadikan
janji yang dikuatkan oleh sumpah, sama membesarkan, saling menghormati/ memiliki
kemulian, saling sepakat dengan baik berdasarkan kejujuran masing-masing, maka
dinamakanlah adat besar raja-raja lipu-tellu-kajurue di Boli. Tidak boleh
saling merebahkan adat, tidak saling mempermalukan, tidak saling mengambil
harta warisan, tidak saling menggambil barang yang dikatakan miliknya tanpa
diminta lebih dahulu pada pemengangnya, tidak saling menangkap ikan dalam tebat
ikan (tidak saling menangkap orang yang sedang melarikan diri ke daerah
lain), tidak saling mengambil telur (tidak
saling memperbudak keturunan isteri yang berstatus budak yang berasal dari
daerah lain), tidak saling membatalkan ketetapan masing-masing, bila khilaf
saling memperingati dan saling menerima peringatan, sehingga berakhir pada
kebaikan, pemerintah dan rakyat lapisan yang di atas
dan yang di bawah”.
Adapun makna
yang terkandung dalam perjanjian tersebut adalah, raja dan para pejabat
kerajaan akan saling menghormati wewenang masing-masing dan para penguasa (ranreng)
yang mempunyai wilayah kekeuasan akan memimpin para warganya tanpa campur
tangan yang tidak berwenang, raja dan para pejabat akan menempati kedudukan
mereka itu, dalam musyawarah harus berpegang pada keadilan dan kebenaran dan
menempatkan kepentingan umum di atas
segala kepentingan pribadi. Ketentuan tersebut dinamakan “adat besar raja-raja
di lipu-tellu-kajurue”.
Setelah
mengucapkan janji Petta La Tenribali dengan sepupu-sepupunya bersama
orang-orang Boli di bawah pohon bajo di Majauleng, berkata orang-orang lipu-tellu-kajurue
di Boli kepada Petta La Tebribali bahwa hanya Batara Langit saja di atasnya
perjanjian kita dan tanah di bawahnya, sehingga La Tenribali digelar Puetta
Batara Wajo. Demikian juga Boli diubah menjadi wajo dan negeri
lipu-tellu-kajurue diganti menjadi Tellu-turungeng-lakka.
Berkat
kepemimpinan La tenribali yang didampingi oleh sepupu sekalinya La Tenritau, La
Tenripekka dan La Matareng, wajo semakin bertambah maju dan berkembang. Rakyat
senantiasa bekerja keras saling menganjurkan untuk bertani, menyadap tuak, dan
menangkap
ikan seperti mata pencaharian mereka, alat yang digunakan untuk menangkap
ikan semakin bermacam-macam juga.
Wajo semakin damai dan sejahtera.
Dalam pemerintahan
Batara wajo La Tenribali, menetapakan ade’assituruseng (hukum adat yang lahir
dari dari persetujuan antara raja, penguasa adat dan rakyat), untuk mengatur
hal-hal yang tidak diatur oleh ade’maraja (adat besar bagi raja-raja),
ade’abiasang (adat kebiasaan bagi rakyat), tuppu’ (aturan yang mengatur tingkat-tingkat
adat dan hubungan hukum antara seorang ayah dan anaknya), wari’ (aturan untuk
membedakan hal-hal yang patut dibedakan, antara lain kelas-kelas masyarakat)
dan rapang (yurisprudensi). Adapun ade’ assituruseng itu boleh diubah bilamana
ternyata tidak membawa kebaikan, tetapi jikalau ternyata pelaksanaannya berguna
bagi orang-orang banyak, dan diperlukan seterusnya akan menjelma menjadi ade’ puraonro.
Procedure untuk
menetapkan ade’ assituruseng oleh La Tenribali ditetapkan sebagai berikut:
Bilamana sesuatu masalah belum diatur oleh ade’maraja, ade’abiasang, tuppu’,
wari’, dan rapang, maka raja dan rakyat mengadakan musyawarah untuk menetapkan
adat berdasarkan kemauan bersama. Kemauan bersama itu harus memenuhi syarat:
1.
Orang-orang bermusyawarah harus bersih dan suci dalam pandangan
dewata.
2.
Bilamana dicapai kata bulat atau mufakat, maka keputusan itu
dinamakan tidak kuning, tidak putih, tidak merah, dan tidak hitam, apa saja
yang ditetapkan sebagai adat dan digunakan dalam mengatur segalah masalah,
tetapi bilamana tidak dicapai kata mufakat, maka.
3.
Pendapat yang paling banyak penduduknya dinyatakan menang.
Nampak
di sini bahwa cara pengambil keputusan degan suara terbanyak (voting)
sudah dikenal di Wajo pada abad XV-XVI. Setelah La Tenribali menjadi Batara
Wajo dan berkedudukan di Boli (Wajo), maka kerajaan penrang diserahkan kepada
saudaranya La Tenritippe dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Kerajaan Penrang harus dibagi empat limpo yaitu: ujung, lapere,
taroketeng, dan saebawi.
2.
Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Arung Penrang harus
menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada Arung Ma’bicara dan Matowa.
3.
Segala urusan dalam negeri penrang tidak dicampuri oleh wajo,
demikian pun halnya dengan penrang tidak mencapuri urusan wajo, bila
orang-orang wajo keluar dari negeri mereka atau masuk kembali ke Wajo Arung
Penrang tudak perlu mencampurinya.
4.
Arung penrang menjadi ina (ibu) dan penasehat wajo, namun
nasehatnya tidak mengikat. Artinya arung penrang memberikan nasehat kepada para
pejabat kerajaan wajo diminta atau tidak diminta, tetapi ia tidak mempunyai hak
memaksa para pejabat yang bersengketa untuk menuruti nasehatnya.
Setelah tiga
tahun La Tenribali menyerahkan kerajaan penrang kepada La Tenritippe, maka ia
meninggal tanpa menunjuk lebih dahulu calon penggantinya. La Tenribali berhasil
memajukan wajo sama besarnya dengan cinnotabi (lamanya memerintah tiak
diketahui). Namun sebelum meninggal batara wajo La Tenribali berpesan yang
ditujukan kepada anak cucunya serta orang-orang wajo. Demikian bunyi pesannya :
“ Hendaknya kita senantiasa berbaik hati ( pikiran yang baik) dan
jujur. Yang dimaksud dengan baik hati (pikiran yang baik) adalah bila
dipersalahkan sesamanya ia tidak marah, pemaaf, dan mengatakan sesuatu kepada
sesamanya manusia yang tidak disenanginya, yang tidak patut menurut pikirannya.
Yang dimaksud dengan kejujuran ialah tidak berkeingginan yang melampaui batas
dan tidak bermaaksud buruk terhadap sesamanya manusia serta takut kepada dewata
uang esa”.
Setelah jabatan
keberatan kebataran lowong, berkumpullah orang-orang wajo di bwawah pohon bajo
esar di majauleng bersama dengan ketiga pa’danreng bersama orang wajo dan
disepakatilah untuk menggangkat La Mataesso arung cinnotabi untuk menggantikan
ayahnya sebagai batara wajo kedua.
Dalm
pemrintahan La Mataesso yang penting diketahui adalah nama lipu-tellu-kajurue
diubah menjadi tellu’e-turungeng-lakka dan ketiga limpo yaitu majauleng diubah
menjadi beetempola, sabbamparu diubah menjadi talo’tenreng, dan takalalla
menjadi tuwa. Alas an perubahan itu ialah karena ada waktu itu orang wajo hanya
memiliki tiga mata pencaharian pokok yaitu bertani/berkebun/bersawah, menyadap
tuak dan menangkap ikan. Mereka bermukim sesuai dengan mata pencaharian mereka
senagai berikut :
1. Orang-orang
majauleng menetaplah di daratan dengan mata pencaharian bersawah, berkebun dan
berladang sehingga bergunung-gununglah onggokan padi mereka di padang
disebutlah daerahnya bettempola (mamenteng-mentenggi lappo asena)
2. Orang-orang
sabbamparu berdiam ditempat penyadapan tuak mereka, maka mereka menanamkan
negeri mereka talo’tenreng (mereka taro tenreng/menaruh tangga untuk menyadap).
3. Orang-orang
takalalla menetap di tempat penagkapan ikan, dan masih menggunakan “tua”/tuba”
untuk menangkap ikan, maka daerahnya dinamakan tuwa.
Adapun batara
wajo La Mataesso jujur, tegas mnetapkan putusannya, sangat suka bermusyawarah
dengan para pa’danreng dan pemuka masyarakat demi kebaikan negeri wajo,
diteguhkan kembali ketetapan ayahnya. Setelah empat tahun memerintah, batara
wajo La Mataesso, wajo semakin besar dan penduduknya semakin bertambah banyak
karena hanya masuk saja dan tidak keluar.
Setelah batara
wajo II meninggal dunia orang wajo sepakat mengangkat puteranya yang bernama La
Pate’dungi To Samallangi untuk menggantikan ayahnya dan memangku jabatan
sebagai batara wajo III.
Seperti telah
diungkapkan terdahulu bahwa orang-orang majauleng menetap di daratan dengan
mata pencaharian bertani, sehingga panen berhasil dan padinya beronggok dan
meninggi dipadang sehingga negerinya disebut bettempola dan menjadi pa’danreng
adalah La Malu To Anginraja dan disebut juga “arung saotanre”I (raja yang
berumah tinggi/berdiam di rumah yang tinggi), bertepatan dengan meninggalnya
batara wajo II La Mataesso, meninggal pula La Malu To anginraja pa’danreng di
bettempola yang berhelar arung saotanre. La Malu To anginraja pa’danreng
bettempola digantikan oleh puteranya La Mallanginang bergelar La Dataule menjadi
Ma’danreng ri bettempola III dan memerintah di saotanre (arung saotanre II).
Setelah La Mallanginang meninggal dunia ia digantikan oleh puteranya La O’bi’
settiriware menjadi Ma’danreng di Bettempola. Mereka tinggal berseberangan
sungai (bertetangga) dengan ketiga sepupunya kalinya yaitu La pasampoi
Ma”danreng di Talotenreng, La Ompeng Ma’danreng ri towa, dan La Teringeng To
Tabba menggantikan mertuanya(kawin dengan puteri La Mallanginang bernama We
Tenriwiseang) memerintah di saotanre dan memakai gelar arung saotanre III.
Seperti telah
dikemukakan terdahulu setelah batara wajo II La Mataesso meninggal dunia yang
menggantikannya (hasil musyawarah) adalah puteranya sendiri yang bernama La
Pate’dungi To Samangllangi (sebagai batara wajo III).
Pada saat
pemerintahannya wajo menjadi sanagat morat-marit, rakyat tentram terutama kaum
perempuan. Batara wajo suka jalan malam (pallolangpenni) dengan alas an menjaga
negerinya. Setelah tiga tahun berbuat demikian, kedapatanlah perbuatan jahatnya
(kelihatan belangnya). Ia mempermainkan anak gadis dan isteri orang. Penduduk
semakin hari semakin resah, tidak tahu diman harus mengadukan halnya, karena
hanya seharusnya mengayomi, melindungi dan menerima keluh kesah rakyatnya
adalah raja. Tetapi batara wajo sendiri yang berprilaku tidak baik dan tidak
moral. Segala peringatan dan teguran dari ketiga pa’danreng sama sekali tidak
ditindahkannya. Satu-satunya yang dianggap tepat untuk menasehati batara wajo
adalah La Tiringeng To Tabba arung saotanre. Istilah “arung saotanre” pada
awalnya merupakan gelar saja, tetapi sejak La Tiringeng To Taba menjadi arung
saotanre, maka gelar itu berubah menjadi suatu jabatan, dengan tugas pembela
hak-hak sosial rakyatnya.
Perbuatan La
Pate’dungi yang tidak tertahankan oleh orang-orang wajo adalah yang suka
berzinah ( ia berkeliling mengambil perempuan, gadis, maupun yang telah
bersuami) lalu ditidurinya.
Berulang kali
ia dinasehati oleh pamannya arung saotanre La Tiringeng To Taba, beliau berkata
antara lain : “jangan engkau melekukan perbuatan yang tidak disukai oleh
orang-orang wajo dan yang dibenci oleh dewata yang esa. Bila engkau hendak
mengambil perempuan yang gadis saja engkau ambil dan jadikan isteri”. Namun hal
itu tidak mngubah prilaku La Pate’dungi batara wajo III dan bahkan semakin merajalela.
Berdasarkan hal
yang demikian itu maka arung saotanre mengumpulkan para pa’danreng dan para
orang tua-tua di wajo untuk bermusyawarah untuk membicarakan sikap dan perilaku
raja yang begitu bejatnya dan tindakan apa yang harus diambil untuk menggadapi
batara wajo.
Musyawarah itu
memutuskan :
1.
Arung saotanre menjadi suatu jabatan baru dengan tugas :
a.
Atas nama rakyat wajo mempunyai wewenang untuk mengangkat dan
memecat batara wajo(raja), jika telah disetujui oleh mereka (orang wajo).
b.
Arung saotanre tidak boleh dipilih menjadi batara wajo (arung/raja)
c.
Arung saotanre sebagai pembela hak-hak social orang wajo, karena
itu diberi julukan “inanna limpo’e” (induk orang banyak).
2.
La Pate’dungi To Samangllangi dipecat dari jabatannya sebagai
batara wajo, dijatuhi pidana “ri paoppangi tanah” ( diusir keluar dari wajo),
dan bila ia melawan maka ia akan pidana mati.
3.
Tidak lagi akan mengangkat seorang raja (batara wajo), berdasarkan
adat perwarisan tahta. Mereka akan mengangkat seorang raja yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Takut kepada dewata yang esa dan menghormati harkat dan martabat
manusia.
b.
Jujur, tegas, kesatria, dan bertanggung jawab.
c.
Cakap dan trampil untuk memajukan kesejahteraan negeri wajo.
d.
Kaya.
Demikian hasil
musyawarah orang-orang wajo akan tetapi keputusan mengenai pemecatan La
Pate’dungi To Samangllangi tinggal putusan, tak ada yang berani
melaksanakannya.
Dari tahun
ketahun perilaku batara wajo La Pate’dungi To Samangllangi semakin buruk, maka
yang didatangi orang wajo untuk mengadukan dan menyampaikan kepedihan hatinya
adalah La Tenringeng To Taba. Adapun arung saotanr hanya menggelengkan kepala
saja dan membuj dengan lemah lembut dan menentramakn orang wajo, lalu pergi
menasehati batara wajo. Bila dinasehati batara wajo hanya endegarkan dan
mengiyakan saja, tetapi tidak diubahnya prilaku jelek itu. Maka putus asalah
arung saotanre, tidak ada yang dapat dilakukannya selain membujukorang wajo
dengan kata baik dan sementara berdoa kepada dewata yang tunggal agar
melimpahkan kebaikan kepada orang-orang dan negeri wajo.
Ditengah
keresahan rakyat wajo, tibalah La Tadampare dari bone, dan langsung menemui
pamannya arung saotanre. La Tadampare adalah putra saudara laki-laki sekandung
La Tiringeng To Taba yaitu La Tompiwanua To Lompo yang memperisterikan I
Tenrilai’ (We Tenrilawi bersuadar dengan La tenriampa) puteri arung palakka.
La Tadampare
karena prilakunya tidak terpuji yaitu massonge’gau (berprilaku melebihi tingkah
bangsawan tinggi) di bone, sehingga ia juga diusir dan disuruh meninggalkan bone,
bersama dengan tiga ratus (300) orang, mereka berjalan kaki dan pergi kewajo
untuk bertemu dengan pamannya LaTiringeng To Taba arung saotanre. Di Solo’
mereka menyebrand dan singgalah mereka mandi di sungai walennae. La Tadampare
membuka ikat pinggangnya (pangali patolana), kemudian menghanyutkannya disungai
sebagai perlambang menanggalkan semau tabiat buruknya dan bersumpah akan
memperbaiki tinggah lakunya di wajo kelak.
Sumpah
diucapkan berbunyi : “Dengarkan hai sekalian, diatas dibawah, di barat di timur,
diselatan dan utara, bahkan semua yang berkelana di dunia ini. Walaupun kembali
kain pembelit pinggangku yang dihanyutkan oleh arus deras sungai walenae,
tidaka akn kembali lagi pebuatan jelekku/jahatku, aku taubatkan disaksikan
dewata yang maha esa. Sebab hanya orang yang pernah melakukan berbagai macam
sifat jelek/jahat yang telah bertobat dan bersumpah disaksikan oeh dwata yang
tunggal akan dapat memperbaiki negeri. Setelah itu pergilah La Tadampare ke
wajo dan langsung kerumah pamannya arung saotanre La Tiringeng To Taba”.
Sesampainya
diistana saotanre oleh pamannya disampaikanlah sifat-sifat buruk dari batara
wajo, disampaiknnya pula bahwa telah berulang kali dinasehatinya tetapi tidak
juga berubah jahatnya yang mempermalukan orang wajo.
Pada saat itu
orang pada sibuk-sibuknya hendak turun ke sawah. La Tiringeng To Taba
menugaskan La Tadampare untuk membimbing pertanian di wajo, dan tugas lain
adalah mengusir La Pate’dungi To Samangllangi. La Tadampare meerima tugas itu.
Berkata petta
La Tiringeng To Taba pada kemanakannya : Demikianlah pemufakatanku dengan
orang-orang wajo, aku kehendaki engkau mengusirnya keluar, meninggalakn wajo.
Bila ia tidak mau meninggalkannya bunuhla !, berkat La Tdampare kepada pamannya
: adapu tuanku kekuatan batara wajo, seimbang dengan kekuatanku sebab sanakku
(keluargaku) kabarnya mempunyaitiga ratus orang sedangkan juga tiga ratus orang
berteman. Namun, biarlah aku dahulu menaasehatinya, supaya aku juga melepaskan
nasarku kepada roh dari mana aku seasal, nanti aku kena kutukan jikalau aku
tidak menunjukkan sebab dan akibat perbuatannya. Apalagi bila ia bersedia
merubah perbuatannya yang dibenci oleh orang-orang wajo.
Adapun La Pate’dungi To Samangllangi sama
sekali tidak menggubris sedikitpun dari anaknya, bahkan perangkainya bertambah
buruk. Berulang-ulang kali La Tadampare pergi untuk menasehatinya tetapi tidak
ada perubahan, bahkan didapatinya batara wajo meniduri seorang perempuan yang
bukan isterinya (istteri orang lain).
Pada waktu itu
musim tanam juga telah tiba, yang sepantasnya ipimpin oleh raja dan para matowa
dan orang tua-tua, tetapi hal itu tidak mungkin terlaksana, karena raja sibuk
juga dengan perbuatannya yang tercelah.
Akhirnya atas
desakan arung saotanre, La Tadampare mengumpulkan orang-orang wajo bersama-sama
mereka menuju keistana dan menyampaikan putusan yang telah dimusyawakan,
berkata La Pate’dungi kepada La Tadampare :
(pergilah duduk
hai bangsawn pendatang),
Di jawab oleh
La Tadampare :
(di jawab oleh
La Tadampare bahwa ia raja sial, keuarlah engaku hari in!, engkau telah dibenc
pula oleh negeri, bila engkau tidak mau pergi aku akan memprtemukanmu ndengan
nenekmu yang tidak pernah enagkau lihat .”
Tiga kali
kata-kata itu diulang oleh La Tadampare, tetapi batara wajo tidak pernah
menayhut, lalu ia turun dari istina, dan pergilah La Tadampare mengiringinya
yang diikuti oleh orang-orang wajo. Setelah sampai dihutankemablilah La
Tadampare, tetapi ia diikuti terus oleh La Tenriumpu To Langu sepupu dua
kalinya (adik dari La O’bi Settiriware), sampai disawah dibunuhnya La
Pate’dungi To Samangllangi. (lamanya memerintah tdak diketahui).
Setelah La
Pate’dungi To Samangllangimeninggal dunia berakhirlah pemerintahan batara wajo.
Sebelum ada raja yang memerintah tugasnya beralih ditangani oleh arung
saotanresampai terpilihnya raja yang tetap.
Berdasarkan
pengalaman pahit dibawah pemerintahan batara wajo La Pate’dungi To
Samangllangi, La Tiringeng To Taba bersama para pa’danreng serta orang-orang wajo
sepakat dengan penuh kesadaran untuk mengubah system pengangkatan raja dan
mengurangi kekeuasan raja.
C. Masa Pemerintahan Arung Matoa Wajo
Setelah batara wajo III La Pate’dunggi To Samangllangi meninggal
dunia, berakhirlah masa pemerintahan batara di wajo. Untuk sementera waktu
tugas pemerintahan di wajo dipegang oleh La Tiringeng To Taba arung saotanre
dibantu oleh para pa’danreng, tugas tersebut terutama untuk menyelesaikan
pertentangan-pertentnagan orang-orang wajo didalam maupun diluar negri wajo,
sehingga La Tiringeng To Taba arung saotanre memegang dua jabatan yaitu arung
di Bettempola dan memegang pemerintahan di Lipu-Turungeng-Lakka, tiga limpo
serta liperibu oleh orang-orang wajo.
Atas kesepakatan tiga Ranreng, dengan arung mabbicara, akan
menganagkat raja pengikatdan penghimpun negri seperti halnya raja mataesso. Dan
ternyata pilihan mereka jatuh kepada arune saotanre petta La Tiringeng To Taba,
tetapi terlarang karena telah berikrar dengan orang-orang wajo. Maka La
Tadamparelah yang menjadi piihan mereka, tetapi beliau menolak dengan alas an
malu, beliau berkata bahwa :
“aku menolakdiangkat menjadi raja wajo, sebab jangan sampai aku
dikatakan oleh sanakku didalam diluar, bahwa hanya jabatannya batara yang aku
inginkan maka aku mengusirnya, alasan tersebut diterima oleh orang-orang wajO,
sebab sangat tegas mengenai prilaku seseorang”.
Orang-orang wajo mencari dan memilih ahli waris lapisan bawah,
namun tidak ada yang berkenan dihati orang-orang wajo selain dari matowa di
majauleng di bettempola, yang akan diangkat sebagai raja penghimpun rakyat dan
pemersatu negeri yang akan digelar”ARUNG MATOWA” (raja yang dipertuan) bernama La Palewo yang bergelar To Palipu, putera dari La Tenripeppang,
cucu dari LA Patiroi arung cinnotabi.
Pada mulanya La Palewo agak keberatan untuk diangkat menjadi raja
dengan alsan bahwa dirinya dungu,penakut, miskin lagi lemah. Tetapi arung
saotanre mengatakan bahwa terima saja dahulu, karena orang wajo itu
pintar,berani,kuat, dan mampu, yang kelak akn kau ketahui setelah memimpin
wajo. Dan pada tahun 1474-1481 beliau menjadi raja di wajo dengan gelar arung
matowa I.
Arung marowa wajo I La Palewo To Palipu’ raja yang pertama hendak
memerangi negeri guna ditaklukan wajo, namun dicegah oleh arung saotanre dengan
mengatakan bahwa :“sesuatu yang selalu diubah dan dibentuk biasanya akan
membawa kerusakan”
Pada masa pemerintahan arung matowa wajo I orang-orang wajo sepakat
untuk membagi empat setiap limpo yaitu bettempola terbagi menjadi , bettempola
, botto , ujungkkalakkang, lowa-lowa, sedangkan Talo’tenreng terbagi menajdi : Talo
tenreng, To’ciung dan pallekoreng dan Tuwa terdiri dari : Aka’, Lempa’, Menge’,
dan kampiri.
Setelah dibagi empat setiap limpo, ditempatkanlah arung mabbicara
empat orang setiap limpo (empat orang di bettempola, empat orang di
Talo’tenreng dan empat orang di Tuwa, jumlah arung mabbicara seluruhnya adalah
tiga puluh orang yaitu 12 orang untuk tiga limpo ditambah enam orang arung
mabbicara ria’besereng) setiap limpo. Mereka itulah yang memutus perkara dan
menentukan hak-hal yang akan dibicarakan menyangkat orang-orang wajo.
Yang disebut dengan wajo adalah ketiga limpo yaitu bettempola,
Talo’tenreng dan Tuwa adala sumber orang kuat , dan Tuwa adalah adalah sumber
kekayan wajo. Setelah 7 tahun lamanya La Palewo To Palipu’ memangku jabatan
arung matowa, beliau mangkat. Rakyat wajo kembali meminta La Tadampare untuk
mengantikannya, namun beliau masih tetap menolak dengan alas an yang sama
seperti semula.
Pilihan jatuh pada La O’bi Settiriware yang pada waktu itu menjadi
pa’danreng di bettempola anak dari arung saotanre yang pertama La Datuale ipar
(sepupu sekali) dari arung saotanre La Tiringeng To Taba. Sudah merupakan
kebiasan bahwa raja yang terpilih harus melepaskan semua jabatan yang dipangkunya,
maka jabatannya sebagai pa’danreng bettempola digantikan oleh anaknya yang
bernama To Angkone dan jabatan sebagai arung simettempola atau arung bettempola
tetap dipangku oleh La Tiringeng To Taba. Cara pengangkatannya pun sama dengan
arung matowa I, yang berbeda hanya soal jawab antara Settiriware dengan para
pejabat kerajaan lainnya yaitu Settiriware menanyakan asal mula wajo dan
orang-orang wajo, yang dijawab oleh arung settempola bahwa asal-usul
orang-orang wajo adalah orang-orang Sarinyameng, saebawi, sekkanasu, dan
cinnotabi. Kemudian masuklah orang-orang bugis dari sebelah selatan sungai
walenae yaitu orang-orang Timurung, Sailong, Babauae, dan orang-orang bone yang
lain serta orang-orang luwu di wajo. Dinyatakan pula asal mula ketiga limpo dan
dinyatakan bahwa walaupun terdapat tiga limpo, tetapi wajo hanya satu, limpo
satu, ata (warga kerajaan) satu, bicara satu, ade’ satu,. Ada juga yang disebut
orang kaya bila sawahnya yang diolah, kerbaunya yang dipakai membajak, anaknya
yang mengemabala, dan isterinya yang menenun panggali (kain pemalut pinggang).
Diungkapkan kembali hak-hak kebebasan rakyat dan ditegaskan oleh
arung simettempola bahwa harta benda orang-orang wajo yang berasal dari
pembelian tidak boleh diambil oleh penguasa tanpapengganti kerugain sejumlah
harga pembeliannya. Terlebih-lebih harta benda dari warisan orang tua mereka
sama sekali tidak boleh diambil oleh para bangsawan dan pejabat kerajaan,
sekalipun dengan pengganti kerugian, kecuali orang-orang wajo rela melepaskan
harta benda mereka. Hal tersebut juga termasukhak kebebasan (kemerdekaan)
orang-oranng wajo yang menyatakan bahwa “saling
mengambil harta warisan orang-orang wajo dan atas, pemerintahan dan Rkyat”
Seperti halnya La Palewo To
Palipu mencoba memperluaskan kekuasaan yang besar, maka beliau mengatakan bahwa
diapun bersedia mengiakan permintaan orang-orang wajo, dikalau kehendak dan
katanya yang menentukan demi kebaikan orang-orang wajo, [elok;mu kua, adakku
tongeng ri adecengenna tnamu to wajo’e.
D.
Kepemimpinan La Maddukelleng (Sultan Pasir)
LA
MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma'dettia
dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La
Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering
disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.
Pada
tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La
Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang)
puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan
pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas
memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta
raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng)
dan sambung ayam (mappabbitte).
Pada
saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati
dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh
orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya.
Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La
Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban
di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna
Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi
tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La
Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan
tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera
melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya
Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone
untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La
Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja
Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di
daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone,
Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus
saling mempercayai.
La
Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan
Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah
Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat
penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di
tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng
Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu
La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada
tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua
tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.
Dengan
disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan
menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna
Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan
saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini
membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri
orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja
Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu
Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714.
Dalam
perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan
Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa
sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan
pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin
dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan
Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
Setelah
sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah
utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa
menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali,
karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan
peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke
Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak
pertempuran.
Setelah
itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang
berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa
cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan
meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La
Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang
dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat
dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan
istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat
berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan
perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis,
Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.
Armada
La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih
dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa
dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang
oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam
catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah
perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.
Lontarak
Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar
antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng
tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas
tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737)
mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda
Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut
ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia
diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng
Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara
Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La
Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana
strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.
Setelah
armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan
pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang
merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda,
mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan
bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk
melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La
Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui
sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam
Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo
mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan
masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di
Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476)
yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.
Dengan
melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng
dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan
tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih
700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih
menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan
Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan
1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La
Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran
yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan
alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis dihadapan
Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan
Tellumpoccoe.
La
Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan
ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan
dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki "petta
Pamaradekangi Wajona To Wajoe" yang artinya tuan/orang yang
memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung
Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan,
maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat
sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa
tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan
strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi
Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone juga
keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
BAB IV
SITUS-SITUS PENINGGALAN KERAJAAN WAJO
A . Makam Kuno
Menurut
informasi bahwa di desa tosora terdapat banyak mekam-makam kuno yang tersebar
di mana-mana, baik yang terkonsentrasi pada beberapa kompleks pemakaman maupun
yang tersebar secara acak.
Menurut cerita masyarakat bahwa makam dengan dua nisan meriam,
adalah makam dari Renreng Benteng Pola La Gau dengan gelar Matinroe Ri Masigina
Makam La Taddangpare puangrimagalatu
B . Masjid Tua Tosora
Masjid tua Tosora
merupakan masjid raya yang pertama di bangun di wilayah Kerajaan Wajo oleh
Arung Matowa Wajo XV La Pakkalongi To Alinrugngi pada tahun1628.
Sisa Masjid Putih Telur tampak dari sebelah timur laut, sebelah
baratnyaterdapat beberapa makam dan sebelah timur bekas sumur atau Bung Parani
C . ISTANA RAJA (SEORAJA)
Duplikat isatana raja La Tenri Bali (arung matoa
D . HURUF LONTARA E
. SONGKO
BAB V
KESIMPULAN
Kebesaran
dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek
sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang
perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan
rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade
Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING
JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya. Kepatuhan dan
ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja
terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian
dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu.
Demikianlah
kearifan lokal dari budaya wajo, semoga kita bisa meneladani sifat para raja
wajo yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah. Selalu mengikuti keinginan
rakyat bukannya mempermainkan rakyat dengan janji-janji manis. Raja wajo adalah
orang yang rendah diri, menghormati anggota dewan, sayang dengan rakyat, jujur,
ulet, menghindari sifat tercela. Orang wajo bebas berpendapat tetapi
menghindari kata-kata yang yang tercela apalagi menyinggung. Marilah kita
lestarikan nilai kearifan budaya kita dengan tetap santun, menghormati
kemerdekaan yang ada pada orang lain. Jangan sampai terjadi seperti ucapan salah
satu pemerhati budaya wajo. Beliau menyatakan jangan sampe warisan budaya
ammaradekangenna to wajoe (kemerdekaan orang wajo) kita salah artikan menjadi ”MARADEKA
TO WAJOE MATANRE SIRI TAPI DE’ NAPPAU, ANDI’E NAPAPUANG”
(merdeka orang wajo, rasa malunya tinggi tapi
cuma diam, andi(bangsawan) saja yang di
tonjolkan/diabdikan/dijunjung/disanjung/dihormati).
DAFTAR PUSTAKA
·
Blog : Andi Brilin yang bersumber dari :
1.
Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah
terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
2.
Munculnya Kerajaan Elektif Wajo, Suatu Percobaan untuk Menemukan
Hari Jadi Daerah Wajo;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
3.
Sejarah Singkat Hari Jadi Wajo;
Drs. Hamid M. ; Andi Pabbarangi ; Dammar Jabbar, Maret 2000
Drs. Hamid M. ; Andi Pabbarangi ; Dammar Jabbar, Maret 2000
4.
Panitia Hari jadi Wajo (HJW). ke-610 Tahun 2009
·
Nurdjannah abbas,Dra,1981,suatu tinjauan tentang kepemimpinan arung
matowa wajo IV La Tadampare Puang ri Maggalatung.
tabe,,infonya sejarah terpilihnya la pariusi menjabat sebagai arung matoa apa ada hubungannya dengan rumpanna tosora,,apa beliau la tenri tatta petta malampe gemmenna yg memerintahkan puangta la pariusi menjabat arung matoa di kerajaan wajo,,karna di liat dari garis turunana mungkin beliau tidak berdara wajo.makasi sebelumnya.
BalasHapusCasino Review & Bonus - JetBlue - The JetBlue
BalasHapusCasino Rewards, as we 통영 출장마사지 call them, is available to 양산 출장샵 use with players in 김포 출장마사지 New Jersey. Players who register on 경상북도 출장안마 the app can get up to 보령 출장샵 $1,000 in bonus credits