Jumat, 16 Maret 2012


SEKILAS STAI AS’ADIYAH SENGKANG

Sekolah tinggi agama islam STAI as’adiyah sengkang merupakan lembaga pendidikan tinggi yang beciri khas pesantren,berdiri sejak tanggal 12 oktober 1964 M/6 jumadil akhir 1385 H,yang diresmikan oleh menteri agama RI dengan sk.no.52 tahun 1970 dengan status (ijazah disamakan).
Sejak berdirinya sampai sekarang,perguruan tinggi ini telah mengalami oeningkatan sikinifikasi dukungan tenaga pengajar professional dan tenaga tekhnis yang terampil dan diwadahi sarana  dan  prasarana memadai, sehingga tidak kala bersaing dengan lainnya dalam menghadapi tantangan dan persaingan global.begitu pula perguruan tinggi lainnya dalam menghadapi tantangan dan persaingan global. Begitu pula perguruan tinggi ini telah melahirkan lulusan / alumni yang berkiprah duberbagai bidang,baik diinstansi pemerintah,tenaga pendidik bahkan hingga pemimpin / tokoh agama baik dalam skala local maupun nasional
Kemampuan lulusan/ alumni STAI As’adiyah Sengkang mengisi sektor-sektor kehiduoan tersebut tidak terlepas dari pembinaan yang dikembangkan pengelola yang membina pondok pesantren dengan menggunakan kemajuan IPTEK sebagai sarana peningkatan mutu lulusan.

VISI
Terwujudnya pusat pembinaan manusia paripurna, berakhlakul karimah, berilmu amalia dan beramal ilmiah.

MISI
Melahirkan sarjana yang berakhlakul karimah, berwawasan akademik, berdaya saing, mampu berkiprah dalam kondisi masyarakat yang penuh dengan tantangan.
Menyediakan alumni yang mampu mengembangkan As’adiyah sebagai pusat pendidikan dan dakwah islamiyah.
Mengembangkan ilmu pengetahuan yang berwawasan keislaman dan bernuansa IMTAQ yang mampu merespon kebutuhan masyarakat.

PROGRAM STUDI / JURUSAN
1.      Aqidah Filsafat dengan status disamakan terakreditasi dengan Nomor 03439AK-I-III-008.LAB.AQAFVI2000. yang bertujuan melahirkan tenaga pemikir muslim yang mampu membentengi Aqidah Islam dalam upaya mewujudkan insan akademik yang berkualitas
2.      Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan status disamakan terakreditasi dengan Nomor 044/BAN-PT/Ak-XIII/S1/II/2011. Yang bertujuan melahirkan tenaga pendidik keguruan yang professional.
3.      Ahwal al-Syakhsiyah (Hukum Perdata Islam) dengan status disamakan terakreditasi dengan nomor 050/BAN-PT/Ak-XIV/S1/I/2012. Yang bertujuan melahirkan sarjana Hukum Islam yang mampu memberi solusi terhadap berbagai problema hukum yang dihadapi masyarakat.
4.      Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dengan Surat Izin Operasional No. Dj.I/1874/2011Tgl. 28 Desember 2011. Yang bertujuan melahirkan Sarjana Hukum Ekonomi Syariah yang mampu memadukan hukum ekonomi umum dengan ekonomi syariah.

GELAR AKADEMIK
1.      Program Studi/Jurusan Aqidah Filsafat           S.Fil.I
2.      Program Studi/jurusan PAI                               S.Pd.I
3.      Program Studi/Hukum Perdata Islam              S.H.I
4.      Program Studi Hukum Ekonomi Syariah         SE.Sy.

KOMPETENSI LULUSAN
Lapangan kerja yang umum dimasuki alumni STAI As’adiyah Sengkang sangat luas, mulai dari Dose/Guru, Praktisi Hukum, Panitera, Pegawai Pencatatan Nikah (PPN), Pegawai Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, PEMDA, Praktisi Perbankan Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Akuntansi Syariah (Tafakul), dan Aktivis LSM.

SARANA DAN PRASARANA
Sarana dan prasarana yang meliputi: Ruang Kuliah, Ruang Komputer, Ruang Dosen, Perpustakaan, Laboratorium Pengadilan Semu, Laboartorium Bahasa, Masjid Kampus, Koperasi, dan Kantin. Semua sarana dan prasarana tersebut berada di lokasi kampus STAI As’adiyah Sengkang. Tersedia juga beasiswa bagi mahasiswa yakni:
-          Beasiswa SUPERSEMAR
-          Beasiswa Kementerian Agama RI.
-          Beasiswa Berprestasi
-          Beasiswa Prestasi Bank Syariah Mandiri
-          Dan beasiswa lainnya.

TENAGA PENGAJAR
1.      AG. Prof. DR. H. M. Rafii Yunus Maratan, MA., Ph.D.
2.      Drs. H. Muh. Yunus Pasanreseng A. Padi, M.Ag
3.      Drs. K.H. Abu Nawas  Bintang
4.      Drs. K.H. Muh. Suaib Nawang
5.      Drs. K.H. Ali Pawellangi
6.      Prof. H. Hamdan Juhannis, MA., Ph.D.
7.      Prof. DR. H. Abdul Karim Hafid, MA
8.      Prof. DR. H. Azhar Arsyad, MA
9.      Prof. DR. H. Ahmad M. Sewang, MA
10.  Prof. DR. H. Qasim Mathar
11.  Prof. DR. H. Abd. Rahim Yunus, MA
12.  Prof. DR. H. Mappanganro, MA
13.  Prof. DR. H. Hasyim Aidid, MA
14.  Prof. DR. Abustani Ilyas, MA
15.  Prof. DR. H. Kamaruddin Amin, MA
16.  Prof. DR. H. M. Galib, MA
17.  Prof. DR. A. Sarjan, MA
18.  Prof. DR. H. Musarif Pababbari, MA
19.  DR. H. Arfah Shiddiq, MA
20.  DR. H. Kamaluddin Abu Nawas, MA
21.  DR. Norman Said, MA
22.  H. Mujahid, M.Ag
23.  Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman, S.H., M.H.
24.  Drs. H. Muh. Rafi Rasyid, M.H.I
25.  Drs. H. A. Syahrulyali Razak, M.Ag
26.  Drs. Abdul Rahman Tja Tjo, M.Pd.I
27.  Drs. H. Baharuddin Ballutaris, S.H., M.Ag
28.  Drs. H. Muh. Amin Hasan, M.Ag
29.  Drs. H. Baharuddin jabi, M.Ag
30.  Drs. H. Muh. Nasir, M.Ag
31.  Drs. H. Muh. Arsyad Meru, M.Ag
32.  Drs. H. Muh. Harta, M.Ag
33.  Drs. H. Muh. Yusuf Razak, M.Pd
34.  Drs. H. Muh. Jafar Aras, M.Ag
35.  Drs. H. Muh Ideman Salewe, M.Th.I
36.  Drs. H. Muhyiddin Rauf, S.H., M.H.
37.  Dra. Hj. St. Aminah Adnan, M.Ag
38.  Dra. St. Rabiah Lamming, M.Sos.I
39.  Dra. Kartini Lahabe, M.Pd
40.  Drs. KM. M. Suyuti Gaffar
41.  Drs. K.M. Muhyiddin Tahir, M.Th.I
42.  M. Rapi, S.Ag., M.Pd
43.  Hj. Umrati Bacotang, S.Ag., M.Pd
44.  Arifin S., M.Ag
45.  Mansur al-Hab, M.Pd
46.  Drs. H. Muh. Zubair
47.  KM. M. Amin Samir, S.H.I., M.H.I
48.  Drs. Alwi Muhammad
49.  Sri Rahmayana Syam, S.H., S.Pd.I
50.  H. Abdul Muis Tang, S.H.

STRUKTUR ORGANISASI
Ketua                                                    : Drs. H. Muh. Yunus Pasanreseng, M.Ag
Pembantu Ketua I                               : Drs. K. H. Abu Nawas Bintang
Pembantu Ketua II                              : Drs. K. H. Muh. Syuaib Nawang
Pembantu Ketua III                            : Drs. H. Muh. Rafi Rasyid, M.H.I

Ketua Prodi/Jur. Aqidah Filsafat      : Dra. Hj. St. Aminah Adnan, M.Ag
Sekretaris Prodi/Jurusan                  : Drs. Abdul Rahman Tja Tjo, M.Ag
Ketua Prodi/Jur. PAI                          : Drs. H. Baharuddin Ballutaris,
Sekretaris Prodi/Jurusan                  : Drs. Muh. Harta, M.Ag
Ketua Prodi/Jur. AS                            : Drs. H. M. Arsyad Meru, M.Ag

Sekretaris Prodi/Jurusan                  : Dra. St. Rabiah Lamming, M.Sos.I
Ketua Prodi Huk. Ekonomi Syariah : Arifin S., M.Ag
Sekretaris Prodi/Jurusan                  : Drs. H. Muh. Jafar Aras, M.Ag
LEMBAGA KEMAHASISWAAN
Untuk mewadahi minat berorganisasi dan bakat dapat disalurkan melalui lembaga kemahasiswaan intra kurikuler diantaranya:
1.      Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema)
2.      Dewan Mahasiswa (DEMA)
3.      Musyawarah Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tarbiyah, Syariah, dan Ushuluddin.
4.      MENWA (Resimen Mahasiswa) Satuan 711 Wolter Monginsidi
5.      Racana K.H. Muh. As’ad 14.033 – Khaerunnisai 14.030 Pangkalan STAI As’adiyah Sengkang
6.      KOPMA (Koperasi Mahasiswa)
7.      FKI (Forum Kajian Ilmiah)
8.      FUIM (Forum Ukhuwan Islamiyah Mahasiswi)
9.      LKQ (Lembaga Kajian Qur’ani

PENDAFTARAN
1.  Waktu pendaftaran Mulai Tgl. 17 Mei s/d 31 Juli 2012
2.  Tempat pendaftaran Kampus STAI As'adiyah Jl. Veteran No. 46 Sengkang Telp. (0485) 324601, Kantor BMT As'adiyah Telp (0485) 324601
3.  Panitia penerimaan Mahasiswa Baru:
-         Ketua                             : Drs. H. Baharuddin Ballutaris, S.H., M.Ag
-         Wakil Ketua                   : KM. Muhyiddin Tahir, S.Ag., M.Th.I
-         Sekretaris             : Drs. Muh. Harta, M.Ag
-         Wakil Sekretaris   : Drs. H. Muh. Arsyad Meru, M.Ag
-          Bendahara            : Drs. H. Muh. Jafar Aras, M.Ag

Selasa, 06 Maret 2012

Sejarah Wajo


A.    Latar Belakang

            Sebagaimana halnya daerah-daerah di Sulawesi Selatan pada umumnya yang berasal dari kerajaan-kerajaan kecil, rasanya kurang lengkap bila tidak membahas salah satu kerajaan tertua yaitu Kerajaan Wajo. Pada masa jayanya, Kerajaan Wajo meliputi beberapa wilayah seperti Kabupaten Sidrap, Bone dan Soppeng serta seluruh wilayah Kabupaten Wajo saat ini. Menurut beberapa sumber, Wajo dibentuk sekitar tahun 1300-an oleh tiga pemimpin negeri, yaitu Bentengpola, Talok Tenreng dan Tuwa. Ketiga pemimpin negeri yang masing-masing disebut Arung ini sepakat membentuk kerajaan bersama yang dipimpin oleh seorang Arung Matowa. Tahun 1948 adalah tahun berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo, ketika pemerintah Republik Indonesia menghapuskan kekuasaan raja di daerah. Reruntuhan kerajaan yang nyaris tak berbekas seolah tak mampu mengungkap kebesarannya. Bahkan kini hanya tersisa satu komunitas pewaris Kerajaan Wajo, yaitu keluarga atau Rumpung Bentengpola. Rumpung Bentengpola merupakan komunitas yang menjadi pilar utama Kerajaan Wajo.
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah:
  1. Kerajaan
  2. Republik
  3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu

B.     Sejarah Lahirnya Tanah Wajo
Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
  1. Versi Puang Rilampulungeng
  2. Versi Puang Ritimpengen
  3. Versi Cinnongtabi
  4. Versi Boli
  5. Versi Kerajaan Cina
  6. Versi masa Kebataraan
  7. Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, di bawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni:
  1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
  2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
  3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
  4. Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.

C.    KABUPATEN WAJO
Kabupaten Wajo adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.056,19 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa.
Kabupaten Wajo, di Provinsi Sulawesi Selatan, memiliki iklim tropis. Suhu udara bervariasi antara 29 hingga 30 derajat Celcius. Di musim kemarau antara Juli hingga Oktober. Sedang di musim hujan, April hingga Juli. Musim bersuhu lembab mulai Nopember hingga Maret. Curah hujan rata-rata 3000 mm dengan 120 hari hujan. Kesuburan lahan pertanian dapat dikemas dalam paket wisata agro, terletak di ketinggian antara 0 hingga 500 meter dari permukaan laut.
Ibu Kota Wajo yaitu Sengkang dikenal sebagai penghasil kain sutra. Wisatawan tinggal pilih jenis produksi Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan gendongan yang beragam antara lain: sarung, baju, blus, dasi, atau cendera mata berupa tas pesta, kipas dan sepatu. Kota Sengkang Sebuah kota mengesankan ketika bisa mereservasi semua bangunan tua yang menjadi penanda kan suatu masa yang lampau, sekaligus menjaga nilai luhur tersebut ke dalam masa kini. Jika diterjemahkan secara sederhana, suatu kota akan mengesankan ketika mempertahankan bangunan tuanya. Kita merasakan sebuah masa yang lewat, namun tetap hadir membayang-bayangi masa kini. Ada sesuatu yang spiritual di kota-kota seperti itu sebab ada banyak bangunan tua yang dipertahankan. Misalnya bangunan Saoraja atau istana di masa silam. Juga banyak rumah-rumah warga yang masih dipertahankan bentuk aslinya yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu.
Sementara Danau tempe dikenal sebagai penghasil ikan tawar, juga telah menjadi kawasan wisata. Danau tempe terbentang laksana cermin raksasa di sisi barat ibu kota Kab. Wajo yaitu sengkang. Danau ini memiliki pesona alam yang elok dan unik. Perkampungan nelayan primitif bernuansa Bugis berbanjar sepanjang tepian danau. Rutinitas keseharian dan aktifitas masyarakat nelayan penangkap ikan yang berlatar belakang rumah-rumah terapung memiliki ciri khas kehidupan dipermukaan danau. Setiap tahun masyarakat nelayan menggelar pesta “Maccera Teppareng” sebagai pernyataan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil yang telah diperoleh dari Danau tempe. Pesta ritual nelayan ditepi danau itu telah dimasukkan ke dalam “of even parawisata Sul-Sel” digelarkan samaan dengan pelaksanaan Festival Danau Tempe setiap Agustus tambah menarik disertai berbagai atraksi seni dan budaya masyarakat Wajo. Ada karnaval perahu hias bugis, lomba perahu antar nelayan danau dan pertunjukan berbagai permainan tradisional rakyat seperti mappitupitu (Layang-layang bermusik). Berjarak dua kilometer arah timur kota Sengkang, dekat danau lampulung.
Pemda Wajo telah membangun kawasan budaya berlokasi seluas 4 HA di kampung Atakka’e. Di situ terdapat bangunan duplikat rumah adat. Salah satu diantaranya yang terbesar dari bangunan duplikat lainnya, adalah Seoraja (Istana Raja) La Tenribali salah seorang raja (arung matoa wajo).
Sekitar 12 Km bagian timur Kota Sengkang terdapat pula danau Tosora. Tempo doeloe (era kerajaan), Tosora berfungsi sebagai ibu kota kerajaan Wajo dikelilingi delapan danau kecil. Luas Tosara 1,428 Ha.
Di seputar kota Sengkang terdapat sejumlah Goa (terowongan) bekas tempat perlindungan/pertahanan serdadu Jepang dimasa perang dunia II berkecamuk. Tempat itu amat menarik untuk wisata petualangan (adventure).
Di Desa Gilireng Kec. Maniangpajo, terdapat tambang Gas alam yang memiliki deposit yang cukup besar sekitar 563.0 BSCF dan 100 MESCDF gas delivery. Potensi gas alam tersebut telah dieksploitasi buat keperluan energi listrik sejak tahun 1999 yang mesin pembangkitnya (PLTU) dibangun di Patila Kecamatan Pammana.

A.    Sejarah Terbentuknya Kerajaan Wajo

1.      Kerajaan Cinnatobi

Pada pertengahan abad XIV La Paukke Putera La Palekke (Arung Mampu) dengan We Cenning (Keturunan Datu Cina) bersama orang-orang cina (Pammana) membuka perkampungan baru, yang dinamakan Cinnotabi. Pekerjaan masyarakatnya ada yang berkebun, bertani, menyadap tuak, menangkap ikan, berburu dan bekerja dihutan untuk mengambil buah-buahan untuk dimakan.

La Paukke merupakan bangsawan yang tertinggi di antara orang-orang yang ada, pandai memimpin pengikutnya, jujur, dan berbudi luhur, sehingga orang-orang pada berdatangan masuk ke Cinnotabi dan tidak keluar, sehingga semakin ramailah perkampungan Cinnotabi.

Pengikut dan orang-orang Cinnotabi sepakat untuk menggangkat La Paukke sebagai Arung Cinnotabi yang pertama (tidak diketahui lamanya memerintah). Setelah Raja La Paukke meninggal dunia, digantikan oleh puterinya We Panangngareng yang bersuamikan La Matatikka Arung Sajoanging. Suaminyalah yang membantu melaksanakan pemerintahan di Cinnotabi (We Panangngareng adalah Arung Cinnotabi yang kedua, lamanya memerintah tidak diketahui juga).

Setelah We Panangngareng meninggal dunia ia digantikan oleh puterinya We Tenrisui, sebagai arung Cinnotabi ketiga. Seperti ibunya suami We Tenrisui La Rajangllangi Arung Babauae yang juga melaksankan pemerintahan. Mereka mempunyai tiga orang putera yang bernama La Patiroi, La Pawawoi, dan La Patongai. Dengan persetujuan para anang La Rajangllangi membagi Cinnotabi menjadi empat lingkungan yang disebut limpo (wilayah), yaitu: Cinnotabi, Majauleng, Sabbamparu, Takkalalla. Keempat limpo tersebut dipandang suatu keluarga besar. Limpo yang pertama selalu memakai nama negeri untuk keseluruhan limpo.

Untuk mengatur pemerintahan ditempatkan empat orang anang yang digelar “Matoa Pabbicara” (pembicara yang dituakan). Mereka bertugas sebagai penyambung lidah keluarganya (rakyatnya) dan mendampingi limpo di tingkat pusat. Pada masa pemeintahan La Rajangllangi inilah untuk pertama kalinya dikenal adanya perjanjian antara raja dengan seluruh rakyat yang diwakili oleh Matoa Pabbicara. Perjanjian ini disebut “Perjanjian Cinnotabi” yang isinya adalah :

1.   (salipuri temmacekke / selimuti kami supaya tidak dingin)
2.   (dongiri temmatippekeng / jagalah kami seperti halnya menjaga burung pipit)
3.   (tanrereakkeng asalakeng / sannagilah kesalahan kami)
4.   (alakki atongengekkeng / berikanlah kebenaran kami atau kemerdekaan kami)
5.   (warekkengekeng amaradekangekkeng / gengamkanlah hak-hak kemerdekaan kami)
6.   (asseriakkeng abiasakkeng / kuatkanlah kebiasaan kami)
            Makasud dari isi perjanjian di atas adalah, raja wajib menjaga hak-hak kebebasan rakyatnya dan raja berkewajiban mempersatukan rakyatnya. Setelah We Tenrisui dan La Rajangllangi meninggal dunia. Digantikan oleh putera sulungnya La Patiroi menjadi Arung Cinnotabi bertambah ramai dan wilayahnya semakin luas pula. La Patiroi memerintah dengan jujur, sabar, dan tanaman jadi berhasil (tidak diganggu binatang), sehingga kenyanglah orang-orang Cinnotabi.
            Karena kerajaan cinnotabi semakin besar dan penduduknya semakin banyak maka untuk melaksanakan pemerintahan dengan baik seperti biasa, tidaklah mampu apabila hanya dilakukan oleh seorang raja dan dibantu oleh keempat matowa Pabbicara, sehingga berdasarkan kesepakatan antara arung Cinnotabi dengan matowa Pabbicara sesuai kebutuhan. Diangkatlah empat puluh matowa Pabbicara (sepuluh orang setiap limpo), yang dinamakan “Arung Patapuloe” ri cinnotabi.
            Arung Cinnotabi bersama dengan matowa pabbicara yang berjumlah empat puluh orang menetapkan peraturan bertigkah laku bagi lapisan masyarakat yaitu :
1.      Wari, yang membedakan antara arung, anakarung, orang-orang merdeka atau dengan kata lain wari adalah tatakrama yang membedakan golongan atas dengan golongan bawah, antara yang baik dan yang buruk, jujur dan culas serta kebenaran dan kepalsuan.
2.      Tata cara bertingkahlaku sesuai dengan adat bagi kaum bangsawan dan tahu tongengkaraja (orang baik-baik/tau deceng) yaitu peraturan adat yang mengatur baik cara berkata maupun cara bertingkah laku serta cara berperkara yang menyangkut perkara tuntut menuntut (perdata).
            Mereka yang diangkat matowa pabbicara pada umumnya adalah mereka dari golongan yang berpengaruh ditiap-tiap limpo dan pedusunan. Untuk meningkatkan prestise dan wibawa arung, maka matowa pabbicara diberi gelar “Arung Mabbicara” yang bertugas membantu raja di bidang peradilian, sedang La Patiroi diberi gelar baru: puetta ri cinnotabi atau petta ri cinnotabi”. Pada masa pemerintahan La Patoroilah untuk pertama kalinya ada lembaga musyawarah. Apabila arung patapulo’e duduk bermusyawarah, cara duduk diurut sesuai “wari” (tata krama), yang didahulukan adalah yang tua, menyusul yang kedua dan seterusnya. La Patiroi memerintah kurang lebih empat puluh tahun lamanya lalu mangkat.
            Setelah La Patiroi wafat, beliau digantikan oleh kedua yaitu La Tenribali dan La Tenritippe. Di sinilah pertama kalinya satu negeri diperintah oleh dua orang. Hanya penempatan keduanya tidak satu tempat, mereka dimukimkan berseberangn sungai. Satu dibagian timur sungai dan satu bagian barat sungai.
            Dalam menjalankan pemerintahannya mereka mempunyai kekuasaan, kewenangan, kebesaran dan kemuliaan yang sama. Perangkai keduanya berbeda dalam melaksanakan tugasnya, putera yang tertua La Tenribali senantiasa dalam mengambil keputusan selalu didasarkan atas musyawarah dengan dewan arung patapulo’e dan tetap menghormati hak-hak matoa mabbicara, terutama dalam hal mengadili perkara. Adapun yang bungsu La Tenritippe kadang-kadang melanggar hak-hak kebebasan orang-orang cinnotabi yang pada akhirnya dapat membawa penderitaan.
            Setelah beberapa lamanya mereka memerintah berdua, semakin sering kehendak mereka berbeda dan tidak dapat seia sekata, La Tenritippe melanggar hak-hak kebebasan orang-orang Cinnotabi demikian juga orang-orang Cinnotabi tidak betah diperintah oleh dua orang raja.
            Awal pertentangan antara kedua raja tersebut adalah ketika menyelesaiakan perkara dua orang dan ternyata tidak menghadirkan orang perkara, demikian juga matowa pa’bicara dan La Tenribali. Merasa diperlalukan dengan tidak adil oleh La Tenritippe dan memacu ketidakpuasan penduduk Cinnotabi. Ketidak adilan tersebut ditanggapi oleh rakyat cinnotabi denga cara berkelompok-kelompok untuk membicarakan tindakan La Tenritippe dan semuanya sepakat bahwa perbuatan mengadili tanpa pemeriksaan salah satu pihak dan tanpa kehadiran Matowa pabbicara dan La Tenribali termasuk perbuatan tercela yang disebut rirempekeng bicara (dilempari keutusan). Mereka menganggap bahwa “dilempari keputusan adalah melanggar hak kebebasan).
            Dari peristiwa tersebut kita dapat melihat betapa solidaritasnya rakyat cinnotabi yang sangat berkeberatan terhadap tindakan salah seorang rajanya. Ini dapat disimpulkan bahwa rasa keadilan dan kesadaran hukum orang cinnotabi pada waktu itu sudah sangat kuat.
            Karena keadaan yang demikian semakin sering dilakukan, situasi semakin memburuk, rakyat diperlakukan tidak adil, akhirnya rakyat menggunakan hak-haknya sesuai isi perjanjian cinnotabi dimana raja berjanji akan menjamin kebenaran yang diperintah, meneguhkan adat kemerdekaan dan mengetangkan (meluruskan) adat kebiasaan mereka, tidak dihalangi kebebasan mereka kemana saja mereka akan pergi.
            Ketiga putera La Patongai, La Tenritau, La Tenripekka, La Matarang (sepepe sekali Arung Cinnotabi La Tenribali) ketila dilihatnya orang-orang cinnotabi semakin menderita sepakatlah ketiganya untuk meninggalkan cinnotabi dengan membawa anak isterinya serta harta bendanya (malleke dapureng) pindah ke Boli. Banyak orang cinnotabi yang ikut serta termasuk tiga orang matowa pa’bicara yaitu Matowa Majauleng, Matowa sabbamparu , Matowa takkalalla serta para bangsawan dan orang baik-baik.
            Ketika sampai di Boli mereka membagi tiga diri mereka dalam tiga kelompok dan memilih mendiami daerah pilihannya masing-masing. Daerah tempat La Tenritau berdiam bersama pengikutnya dinamakan majauleng, sedangkan yang diplih La Tenripekka bersama pengikutnya disebut Sa’bamparu serta La Matareng dinamakan Takalalla.
            Mata pencaharian mereka adalah bersawah, berkebun, menyadap tuak, menangkap ikan, berburu dan mengambil buah-buahan yang dapat dimakan di hutan. Ketiga negeri tersebut diperintah oleh ketiga orang pemimpin masing-masing dalam daerah pilihannya (berfederasi) dan menyebut nama perserikatannya adalah lipu=tellu-kajuru’e yang berarti negeri yng berserikat yang terdiri dari tiga daerah bagian (seperti halnya buah kemiri).
            Adapun La Tenribali dan La Tenritippe ketika menyaksikan banyaknya orang cinnotabi yang meninggalakan negeri mereka, maka keduanya dengan disertai orang-orang yang masih tinggal juga meninggalkan cinnotabi dan pergi ke penrang, saebawi dan sarinyameng membuka negeri. Sedangkan We Tenrigau sepupu satu kali Arung Cinnotabi yang masih tinggal akhirnya membongkar istana cinnotabi dan di bawanya ke Mampu dan tinggal di Mampu. Maka berakhirlah pemerintahan di Cinnotabi.

D.    Asal Mula Kerajaan Wajo

Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu. Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa bugis yang artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat membentuk kerajaan wajo Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Kerajaan wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO. Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Versi yang paling di kenal yaitu pembentukkan kerajaan wajo berdasarkan lontara Bugis sekitar tahun 1450 yaitu kisah We Tadampali seorang putri dari kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah tosora. Daerah itu kemudian disebut majauleng berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli'(kulit. Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai sakkoli (sakke'=pulih ; oli = kulit) sehingga beliau sembuh.
Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru. Sehingga suatu saat datang seorang pangeran dari bone (ada juga yang mengatakan soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan we tadampali. Singkat kata, mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan umumnya. Tipe kerajaan wajo bukanlah feodal murni tapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya Wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya beliau bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo.
Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.

E.     Perkembangan Kerajaan Wajo
Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, Kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman Arung Matowa Wajo IV La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi di tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato Ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana.
Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng To Tenrirua Arung Matowa ke-30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa-31 dilantik disaat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di Sul-Sel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Wajo. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo di bawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk Swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama Swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.

F.     Kepemimpinan di Kerajaan Wajo
1.      Raja – Raja Wajo
Menurut semua sumber yang ada, ada 42 Raja (Arung Matowa) yang pernah memimpin Kerajaan Wajo. Namun sumber itu belum dijamin kevalidannya tapi bisa menjadi suatu bayangan bagi kita tentang raja-raja pada kerajaan wajo zaman dahulu. Berikut adalah nama-nama raja Wajo dan masa pemerintahannya:
1.      La Palewo to Palippu (±1474-1481)
2.      La Obbi Settiriware (±1481-1486)
3.      La Tenriumpu to Langi (±1486-1491)
4.      La Tadampare Puangrimaggalatung (±1491-1521) Lowong 3 tahun
5.      La Tenri Pakado To Nampe (±1524-1535)
6.      La Temmassonge (±1535-1538).
7.      La Warani To Temmagiang (±1538-1547).
8.      La Malagenni (±1547)
9.      La Mappauli To Appamadeng (±1547-1564)
10.  La Pakoko To Pa’bele’ (±1564-2567)
11.  La Mungkace To Uddamang (±1567-1607)
12.  La Sangkuru Patau Mulajaji (±1607-1610)
13.  La Mappepulu To Appamole (±1612-1616)
14.  La Samalewa To Appakiung (±1616-1621)
15.  La Pakallongi To Alinrungi (±1621-1626)
16.  To Mappassaungnge (±1627-1628).
17.  La Pakallongi To Alinrungi (1628-1636),
18.  La Tenri lai to Udamang (1636-1639)
19.  Isigajang To Bunne (±1639-1643),
20.  La Makkaraka To Patemmui (±1643-1648).
21.  La Temmasonge (±1648-1651)
22.  La Paramma To Rewo (±1651-1658)
23.  La Tenri Lai To Sengngeng (±1658-1670)
24.  La Palili To Malu’ (±1670-1679)
25.  La Pariusi Daeng Manyampa (±1679-1699),
26.  La Tenri Sessu (±1699-1702)
27.  La Mattone’ (±1702-1703)
28.  La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
29.  La Tenri Werung (±1712-1715)
30.  La Salewangeng To Tenriruwa (±1715-1736)
31.  La Maddukkelleng Daeng Simpuang (±1736-1754) Arung Singkang (Pahlawan Nasional )
32.  La Mad’danaca (±1754-1755)
33.  La Passaung (±1758-1761)
34.  La Mappajung puanna salowo (1761-1767)
35.  La Malliungeng (±1767-1770) Lowong 25 tahun
36.  La Mallalengeng (±1795-1817) Lowong 4 tahun
37.  La Manang (±1821-1825). Lowong 14 tahun
38.  La Pa’dengngeng (±1839-1845) Lowong 9 tahun
39.  La Pawellangi PajumperoE (±1854-1859).
40.  La Cincing Akil Ali (±1859-1885)
41.  La Koro (±1885-1891)
42.  La Patongai Datu Lompulle
Korte Veklaring 1906 menyebabkan berubahnya status kerajaan Wajo menjadi bagian dari jajahan Belanda dan berubahnya struktur kerajaan menjadi Onder-Afdeling Wajo dibawah Afdeling Bone.
43.  Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916) Lowong 10 tahun
44.  A.Oddangpero Datu Larompong (1926-1933)
45.  A.Mangkona Datu Mario (1933-1949)
Arung Matowa (peralihan).
46.  Sumangerukka datu pattojo (ex patola putra AMW 44) 1949
47.  A. Ninnong (ex ranreng tuwa) 1949
Pemerintah Daerah era transisi (1950-1957)
48.  A.Pallawarukka (ex pilla)
49.  A. Magga Amirullah (ex sulewatang pugi)
50.  A. Pallawarukka (masa jabatan kedua)
51.  Bupati (1957-sekarang)

B. Masa Pemerintahan Batara Wajo
            Setelah negeri Lipu-Tellu-Kajurue di Boli semakin ramai dan penduduknya semakin bertambah, maka La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng mengumpulkan penduduk negeri Lipu-Tellu-Kajurue di Boli untuk membicarakan mengenai pengangkatan seorang raja untuk memerintah negeri gabungan mereka (Lipu-Tellu-Kajurue). Dalam musyawarah itu diputuskan untuk mengutus orang tua di Boli guna mengundang La Tenribali di Penrang agar bersedia berkunjung ke Boli.
            La Tenribali diiring oleh para pemuka masyarakat penrang tiba di Boli, bersama orang tua-tua di Boli. La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng menyampaikan hasil musyawarah orang-orang Boli, yaitu mereka sepakat untuk mengangkat La Tenribali menjadi “arung mataesso (raja matahari) di Boli yang bertugas antara lain untuk mengayomi rakyat Boli dengan melaksanakan hukum adat yang pernah dipakai oleh La Patiroi Arung Cinnotabi yang diwarisinya dari La Rajangllangi sehingga Cinnotabi jaya.
Permohonan itu diterima oleh La Tenribali dengan mengusulkan agar perjanjian/ pelantikan diadakan di Majauleng dua hari kemudian yang harus dihadiri oleh seluruh penduduk negeri Boli (Lipu-Tellu-Kajurue), mulai dari anak-anak, orang tua dan wanita dewasa.
La Tenribali menyetujui meneguhkan dan melaksanakan kembali hukum adat terdahulu di Cinnotabi dan mengusulkan supaya ditetapkan “ade assituruseng” (hukum dan adat yang dibuat atas kehendak bersama) yang dapat memakmurkan rakyat, membesarkan negeri, dan tempat berteduh rakyat.
            Sebelum janji diucapkan oleh La Tenribali, para ranreng (La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng) secara sukarela melepaskan jabatannya masing-masing sebagai raja. Mereka mengangkat dirinya menjadi pa’danreng (pendamping dan pembantu raja) di tingkat pemerintahan pusat sambil menjadi kepala limponya masing-masing (merupakan kerajaan unataristis yang berotonomi). Jabatan baru mereka adalah, La Tenritau Ma’danreng ri Majauleng, La Tenripekka Ma’danreng Ri Sabbamparu, dan La Matereng Ma’danreng Ri Takalalla.
            La Tenribali mengucapkan janji di bawah sebuah pohon besar yang bernama pohon bajo bertempat diwilayah majauleng, perjanjian itu disebut “perjanjian majauleng” yang berbunyi:
“yang dijadikan janji yang dikuatkan oleh sumpah, sama membesarkan, saling menghormati/ memiliki kemulian, saling sepakat dengan baik berdasarkan kejujuran masing-masing, maka dinamakanlah adat besar raja-raja lipu-tellu-kajurue di Boli. Tidak boleh saling merebahkan adat, tidak saling mempermalukan, tidak saling mengambil harta warisan, tidak saling menggambil barang yang dikatakan miliknya tanpa diminta lebih dahulu pada pemengangnya, tidak saling menangkap ikan dalam tebat ikan (tidak saling menangkap orang yang sedang melarikan diri ke daerah lain), tidak saling mengambil telur (tidak saling memperbudak keturunan isteri yang berstatus budak yang berasal dari daerah lain), tidak saling membatalkan ketetapan masing-masing, bila khilaf saling memperingati dan saling menerima peringatan, sehingga berakhir pada kebaikan, pemerintah dan rakyat lapisan yang di atas dan yang di bawah”.
Adapun makna yang terkandung dalam perjanjian tersebut adalah, raja dan para pejabat kerajaan akan saling menghormati wewenang masing-masing dan para penguasa (ranreng) yang mempunyai wilayah kekeuasan akan memimpin para warganya tanpa campur tangan yang tidak berwenang, raja dan para pejabat akan menempati kedudukan mereka itu, dalam musyawarah harus berpegang pada keadilan dan kebenaran dan menempatkan kepentingan umum di atas segala kepentingan pribadi. Ketentuan tersebut dinamakan “adat besar raja-raja di lipu-tellu-kajurue”.
            Setelah mengucapkan janji Petta La Tenribali dengan sepupu-sepupunya bersama orang-orang Boli di bawah pohon bajo di Majauleng, berkata orang-orang lipu-tellu-kajurue di Boli kepada Petta La Tebribali bahwa hanya Batara Langit saja di atasnya perjanjian kita dan tanah di bawahnya, sehingga La Tenribali digelar Puetta Batara Wajo. Demikian juga Boli diubah menjadi wajo dan negeri lipu-tellu-kajurue diganti menjadi Tellu-turungeng-lakka.
            Berkat kepemimpinan La tenribali yang didampingi oleh sepupu sekalinya La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng, wajo semakin bertambah maju dan berkembang. Rakyat senantiasa bekerja keras saling menganjurkan untuk bertani, menyadap tuak, dan menangkap ikan seperti mata pencaharian mereka, alat yang digunakan untuk menangkap ikan semakin bermacam-macam juga. Wajo semakin damai dan sejahtera.
            Dalam pemerintahan Batara wajo La Tenribali, menetapakan ade’assituruseng (hukum adat yang lahir dari dari persetujuan antara raja, penguasa adat dan rakyat), untuk mengatur hal-hal yang tidak diatur oleh ade’maraja (adat besar bagi raja-raja), ade’abiasang (adat kebiasaan bagi rakyat), tuppu’ (aturan yang mengatur tingkat-tingkat adat dan hubungan hukum antara seorang ayah dan anaknya), wari’ (aturan untuk membedakan hal-hal yang patut dibedakan, antara lain kelas-kelas masyarakat) dan rapang (yurisprudensi). Adapun ade’ assituruseng itu boleh diubah bilamana ternyata tidak membawa kebaikan, tetapi jikalau ternyata pelaksanaannya berguna bagi orang-orang banyak, dan diperlukan seterusnya akan menjelma menjadi ade’ puraonro.
Procedure untuk menetapkan ade’ assituruseng oleh La Tenribali ditetapkan sebagai berikut: Bilamana sesuatu masalah belum diatur oleh ade’maraja, ade’abiasang, tuppu’, wari’, dan rapang, maka raja dan rakyat mengadakan musyawarah untuk menetapkan adat berdasarkan kemauan bersama. Kemauan bersama itu harus memenuhi syarat:
1.      Orang-orang bermusyawarah harus bersih dan suci dalam pandangan dewata.
2.      Bilamana dicapai kata bulat atau mufakat, maka keputusan itu dinamakan tidak kuning, tidak putih, tidak merah, dan tidak hitam, apa saja yang ditetapkan sebagai adat dan digunakan dalam mengatur segalah masalah, tetapi bilamana tidak dicapai kata mufakat, maka.
3.      Pendapat yang paling banyak penduduknya dinyatakan menang.
Nampak di sini bahwa cara pengambil keputusan degan suara terbanyak (voting) sudah dikenal di Wajo pada abad XV-XVI. Setelah La Tenribali menjadi Batara Wajo dan berkedudukan di Boli (Wajo), maka kerajaan penrang diserahkan kepada saudaranya La Tenritippe dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Kerajaan Penrang harus dibagi empat limpo yaitu: ujung, lapere, taroketeng, dan saebawi.
2.      Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Arung Penrang harus menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada Arung Ma’bicara dan Matowa.
3.      Segala urusan dalam negeri penrang tidak dicampuri oleh wajo, demikian pun halnya dengan penrang tidak mencapuri urusan wajo, bila orang-orang wajo keluar dari negeri mereka atau masuk kembali ke Wajo Arung Penrang tudak perlu mencampurinya.
4.      Arung penrang menjadi ina (ibu) dan penasehat wajo, namun nasehatnya tidak mengikat. Artinya arung penrang memberikan nasehat kepada para pejabat kerajaan wajo diminta atau tidak diminta, tetapi ia tidak mempunyai hak memaksa para pejabat yang bersengketa untuk menuruti nasehatnya.
Setelah tiga tahun La Tenribali menyerahkan kerajaan penrang kepada La Tenritippe, maka ia meninggal tanpa menunjuk lebih dahulu calon penggantinya. La Tenribali berhasil memajukan wajo sama besarnya dengan cinnotabi (lamanya memerintah tiak diketahui). Namun sebelum meninggal batara wajo La Tenribali berpesan yang ditujukan kepada anak cucunya serta orang-orang wajo. Demikian bunyi pesannya :
“ Hendaknya kita senantiasa berbaik hati ( pikiran yang baik) dan jujur. Yang dimaksud dengan baik hati (pikiran yang baik) adalah bila dipersalahkan sesamanya ia tidak marah, pemaaf, dan mengatakan sesuatu kepada sesamanya manusia yang tidak disenanginya, yang tidak patut menurut pikirannya. Yang dimaksud dengan kejujuran ialah tidak berkeingginan yang melampaui batas dan tidak bermaaksud buruk terhadap sesamanya manusia serta takut kepada dewata uang esa”.
Setelah jabatan keberatan kebataran lowong, berkumpullah orang-orang wajo di bwawah pohon bajo esar di majauleng bersama dengan ketiga pa’danreng bersama orang wajo dan disepakatilah untuk menggangkat La Mataesso arung cinnotabi untuk menggantikan ayahnya sebagai batara wajo kedua.
Dalm pemrintahan La Mataesso yang penting diketahui adalah nama lipu-tellu-kajurue diubah menjadi tellu’e-turungeng-lakka dan ketiga limpo yaitu majauleng diubah menjadi beetempola, sabbamparu diubah menjadi talo’tenreng, dan takalalla menjadi tuwa. Alas an perubahan itu ialah karena ada waktu itu orang wajo hanya memiliki tiga mata pencaharian pokok yaitu bertani/berkebun/bersawah, menyadap tuak dan menangkap ikan. Mereka bermukim sesuai dengan mata pencaharian mereka senagai berikut :
            1. Orang-orang majauleng menetaplah di daratan dengan mata pencaharian bersawah, berkebun dan berladang sehingga bergunung-gununglah onggokan padi mereka di padang disebutlah daerahnya bettempola (mamenteng-mentenggi lappo asena)
            2. Orang-orang sabbamparu berdiam ditempat penyadapan tuak mereka, maka mereka menanamkan negeri mereka talo’tenreng (mereka taro tenreng/menaruh tangga untuk menyadap).
            3. Orang-orang takalalla menetap di tempat penagkapan ikan, dan masih menggunakan “tua”/tuba” untuk menangkap ikan, maka daerahnya dinamakan tuwa.
Adapun batara wajo La Mataesso jujur, tegas mnetapkan putusannya, sangat suka bermusyawarah dengan para pa’danreng dan pemuka masyarakat demi kebaikan negeri wajo, diteguhkan kembali ketetapan ayahnya. Setelah empat tahun memerintah, batara wajo La Mataesso, wajo semakin besar dan penduduknya semakin bertambah banyak karena hanya masuk saja dan tidak keluar.
            Setelah batara wajo II meninggal dunia orang wajo sepakat mengangkat puteranya yang bernama La Pate’dungi To Samallangi untuk menggantikan ayahnya dan memangku jabatan sebagai batara wajo III.
Seperti telah diungkapkan terdahulu bahwa orang-orang majauleng menetap di daratan dengan mata pencaharian bertani, sehingga panen berhasil dan padinya beronggok dan meninggi dipadang sehingga negerinya disebut bettempola dan menjadi pa’danreng adalah La Malu To Anginraja dan disebut juga “arung saotanre”I (raja yang berumah tinggi/berdiam di rumah yang tinggi), bertepatan dengan meninggalnya batara wajo II La Mataesso, meninggal pula La Malu To anginraja pa’danreng di bettempola yang berhelar arung saotanre. La Malu To anginraja pa’danreng bettempola digantikan oleh puteranya La Mallanginang bergelar La Dataule menjadi Ma’danreng ri bettempola III dan memerintah di saotanre (arung saotanre II). Setelah La Mallanginang meninggal dunia ia digantikan oleh puteranya La O’bi’ settiriware menjadi Ma’danreng di Bettempola. Mereka tinggal berseberangan sungai (bertetangga) dengan ketiga sepupunya kalinya yaitu La pasampoi Ma”danreng di Talotenreng, La Ompeng Ma’danreng ri towa, dan La Teringeng To Tabba menggantikan mertuanya(kawin dengan puteri La Mallanginang bernama We Tenriwiseang) memerintah di saotanre dan memakai gelar arung saotanre III.
            Seperti telah dikemukakan terdahulu setelah batara wajo II La Mataesso meninggal dunia yang menggantikannya (hasil musyawarah) adalah puteranya sendiri yang bernama La Pate’dungi To Samangllangi (sebagai batara wajo III).
Pada saat pemerintahannya wajo menjadi sanagat morat-marit, rakyat tentram terutama kaum perempuan. Batara wajo suka jalan malam (pallolangpenni) dengan alas an menjaga negerinya. Setelah tiga tahun berbuat demikian, kedapatanlah perbuatan jahatnya (kelihatan belangnya). Ia mempermainkan anak gadis dan isteri orang. Penduduk semakin hari semakin resah, tidak tahu diman harus mengadukan halnya, karena hanya seharusnya mengayomi, melindungi dan menerima keluh kesah rakyatnya adalah raja. Tetapi batara wajo sendiri yang berprilaku tidak baik dan tidak moral. Segala peringatan dan teguran dari ketiga pa’danreng sama sekali tidak ditindahkannya. Satu-satunya yang dianggap tepat untuk menasehati batara wajo adalah La Tiringeng To Tabba arung saotanre. Istilah “arung saotanre” pada awalnya merupakan gelar saja, tetapi sejak La Tiringeng To Taba menjadi arung saotanre, maka gelar itu berubah menjadi suatu jabatan, dengan tugas pembela hak-hak sosial rakyatnya.
Perbuatan La Pate’dungi yang tidak tertahankan oleh orang-orang wajo adalah yang suka berzinah ( ia berkeliling mengambil perempuan, gadis, maupun yang telah bersuami) lalu ditidurinya.
Berulang kali ia dinasehati oleh pamannya arung saotanre La Tiringeng To Taba, beliau berkata antara lain : “jangan engkau melekukan perbuatan yang tidak disukai oleh orang-orang wajo dan yang dibenci oleh dewata yang esa. Bila engkau hendak mengambil perempuan yang gadis saja engkau ambil dan jadikan isteri”. Namun hal itu tidak mngubah prilaku La Pate’dungi batara wajo III dan bahkan semakin merajalela.
Berdasarkan hal yang demikian itu maka arung saotanre mengumpulkan para pa’danreng dan para orang tua-tua di wajo untuk bermusyawarah untuk membicarakan sikap dan perilaku raja yang begitu bejatnya dan tindakan apa yang harus diambil untuk menggadapi batara wajo.
            Musyawarah itu memutuskan :
1.      Arung saotanre menjadi suatu jabatan baru dengan tugas :
a.    Atas nama rakyat wajo mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memecat batara wajo(raja), jika telah disetujui oleh mereka (orang wajo).
b.    Arung saotanre tidak boleh dipilih menjadi batara wajo (arung/raja)
c.     Arung saotanre sebagai pembela hak-hak social orang wajo, karena itu diberi julukan “inanna limpo’e” (induk orang banyak).
2.      La Pate’dungi To Samangllangi dipecat dari jabatannya sebagai batara wajo, dijatuhi pidana “ri paoppangi tanah” ( diusir keluar dari wajo), dan bila ia melawan maka ia akan pidana mati.
3.      Tidak lagi akan mengangkat seorang raja (batara wajo), berdasarkan adat perwarisan tahta. Mereka akan mengangkat seorang raja yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.     Takut kepada dewata yang esa dan menghormati harkat dan martabat manusia.
b.    Jujur, tegas, kesatria, dan bertanggung jawab.
c.     Cakap dan trampil untuk memajukan kesejahteraan negeri wajo.
d.    Kaya.
Demikian hasil musyawarah orang-orang wajo akan tetapi keputusan mengenai pemecatan La Pate’dungi To Samangllangi tinggal putusan, tak ada yang berani melaksanakannya.
Dari tahun ketahun perilaku batara wajo La Pate’dungi To Samangllangi semakin buruk, maka yang didatangi orang wajo untuk mengadukan dan menyampaikan kepedihan hatinya adalah La Tenringeng To Taba. Adapun arung saotanr hanya menggelengkan kepala saja dan membuj dengan lemah lembut dan menentramakn orang wajo, lalu pergi menasehati batara wajo. Bila dinasehati batara wajo hanya endegarkan dan mengiyakan saja, tetapi tidak diubahnya prilaku jelek itu. Maka putus asalah arung saotanre, tidak ada yang dapat dilakukannya selain membujukorang wajo dengan kata baik dan sementara berdoa kepada dewata yang tunggal agar melimpahkan kebaikan kepada orang-orang dan negeri wajo.
Ditengah keresahan rakyat wajo, tibalah La Tadampare dari bone, dan langsung menemui pamannya arung saotanre. La Tadampare adalah putra saudara laki-laki sekandung La Tiringeng To Taba yaitu La Tompiwanua To Lompo yang memperisterikan I Tenrilai’ (We Tenrilawi bersuadar dengan La tenriampa) puteri arung palakka.
La Tadampare karena prilakunya tidak terpuji yaitu massonge’gau (berprilaku melebihi tingkah bangsawan tinggi) di bone, sehingga ia juga diusir dan disuruh meninggalkan bone, bersama dengan tiga ratus (300) orang, mereka berjalan kaki dan pergi kewajo untuk bertemu dengan pamannya LaTiringeng To Taba arung saotanre. Di Solo’ mereka menyebrand dan singgalah mereka mandi di sungai walennae. La Tadampare membuka ikat pinggangnya (pangali patolana), kemudian menghanyutkannya disungai sebagai perlambang menanggalkan semau tabiat buruknya dan bersumpah akan memperbaiki tinggah lakunya di wajo kelak.
Sumpah diucapkan berbunyi : “Dengarkan hai sekalian, diatas dibawah, di barat di timur, diselatan dan utara, bahkan semua yang berkelana di dunia ini. Walaupun kembali kain pembelit pinggangku yang dihanyutkan oleh arus deras sungai walenae, tidaka akn kembali lagi pebuatan jelekku/jahatku, aku taubatkan disaksikan dewata yang maha esa. Sebab hanya orang yang pernah melakukan berbagai macam sifat jelek/jahat yang telah bertobat dan bersumpah disaksikan oeh dwata yang tunggal akan dapat memperbaiki negeri. Setelah itu pergilah La Tadampare ke wajo dan langsung kerumah pamannya arung saotanre La Tiringeng To Taba”.
Sesampainya diistana saotanre oleh pamannya disampaikanlah sifat-sifat buruk dari batara wajo, disampaiknnya pula bahwa telah berulang kali dinasehatinya tetapi tidak juga berubah jahatnya yang mempermalukan orang wajo.
Pada saat itu orang pada sibuk-sibuknya hendak turun ke sawah. La Tiringeng To Taba menugaskan La Tadampare untuk membimbing pertanian di wajo, dan tugas lain adalah mengusir La Pate’dungi To Samangllangi. La Tadampare meerima tugas itu.
Berkata petta La Tiringeng To Taba pada kemanakannya : Demikianlah pemufakatanku dengan orang-orang wajo, aku kehendaki engkau mengusirnya keluar, meninggalakn wajo. Bila ia tidak mau meninggalkannya bunuhla !, berkat La Tdampare kepada pamannya : adapu tuanku kekuatan batara wajo, seimbang dengan kekuatanku sebab sanakku (keluargaku) kabarnya mempunyaitiga ratus orang sedangkan juga tiga ratus orang berteman. Namun, biarlah aku dahulu menaasehatinya, supaya aku juga melepaskan nasarku kepada roh dari mana aku seasal, nanti aku kena kutukan jikalau aku tidak menunjukkan sebab dan akibat perbuatannya. Apalagi bila ia bersedia merubah perbuatannya yang dibenci oleh orang-orang wajo.
 Adapun La Pate’dungi To Samangllangi sama sekali tidak menggubris sedikitpun dari anaknya, bahkan perangkainya bertambah buruk. Berulang-ulang kali La Tadampare pergi untuk menasehatinya tetapi tidak ada perubahan, bahkan didapatinya batara wajo meniduri seorang perempuan yang bukan isterinya (istteri orang lain).
Pada waktu itu musim tanam juga telah tiba, yang sepantasnya ipimpin oleh raja dan para matowa dan orang tua-tua, tetapi hal itu tidak mungkin terlaksana, karena raja sibuk juga dengan perbuatannya yang tercelah.
Akhirnya atas desakan arung saotanre, La Tadampare mengumpulkan orang-orang wajo bersama-sama mereka menuju keistana dan menyampaikan putusan yang telah dimusyawakan, berkata La Pate’dungi kepada La Tadampare :
(pergilah duduk hai bangsawn pendatang),
Di jawab oleh La Tadampare :
(di jawab oleh La Tadampare bahwa ia raja sial, keuarlah engaku hari in!, engkau telah dibenc pula oleh negeri, bila engkau tidak mau pergi aku akan memprtemukanmu ndengan nenekmu yang tidak pernah enagkau lihat .”
Tiga kali kata-kata itu diulang oleh La Tadampare, tetapi batara wajo tidak pernah menayhut, lalu ia turun dari istina, dan pergilah La Tadampare mengiringinya yang diikuti oleh orang-orang wajo. Setelah sampai dihutankemablilah La Tadampare, tetapi ia diikuti terus oleh La Tenriumpu To Langu sepupu dua kalinya (adik dari La O’bi Settiriware), sampai disawah dibunuhnya La Pate’dungi To Samangllangi. (lamanya memerintah tdak diketahui).
Setelah La Pate’dungi To Samangllangimeninggal dunia berakhirlah pemerintahan batara wajo. Sebelum ada raja yang memerintah tugasnya beralih ditangani oleh arung saotanresampai terpilihnya raja yang tetap.
Berdasarkan pengalaman pahit dibawah pemerintahan batara wajo La Pate’dungi To Samangllangi, La Tiringeng To Taba bersama para pa’danreng serta orang-orang wajo sepakat dengan penuh kesadaran untuk mengubah system pengangkatan raja dan mengurangi kekeuasan raja.
C. Masa Pemerintahan Arung Matoa Wajo
Setelah batara wajo III La Pate’dunggi To Samangllangi meninggal dunia, berakhirlah masa pemerintahan batara di wajo. Untuk sementera waktu tugas pemerintahan di wajo dipegang oleh La Tiringeng To Taba arung saotanre dibantu oleh para pa’danreng, tugas tersebut terutama untuk menyelesaikan pertentangan-pertentnagan orang-orang wajo didalam maupun diluar negri wajo, sehingga La Tiringeng To Taba arung saotanre memegang dua jabatan yaitu arung di Bettempola dan memegang pemerintahan di Lipu-Turungeng-Lakka, tiga limpo serta liperibu oleh orang-orang wajo.
Atas kesepakatan tiga Ranreng, dengan arung mabbicara, akan menganagkat raja pengikatdan penghimpun negri seperti halnya raja mataesso. Dan ternyata pilihan mereka jatuh kepada arune saotanre petta La Tiringeng To Taba, tetapi terlarang karena telah berikrar dengan orang-orang wajo. Maka La Tadamparelah yang menjadi piihan mereka, tetapi beliau menolak dengan alas an malu, beliau berkata bahwa :
“aku menolakdiangkat menjadi raja wajo, sebab jangan sampai aku dikatakan oleh sanakku didalam diluar, bahwa hanya jabatannya batara yang aku inginkan maka aku mengusirnya, alasan tersebut diterima oleh orang-orang wajO, sebab sangat tegas mengenai prilaku seseorang”.
Orang-orang wajo mencari dan memilih ahli waris lapisan bawah, namun tidak ada yang berkenan dihati orang-orang wajo selain dari matowa di majauleng di bettempola, yang akan diangkat sebagai raja penghimpun rakyat dan pemersatu negeri yang akan digelar”ARUNG MATOWA” (raja yang dipertuan) bernama La Palewo yang bergelar To Palipu, putera dari La Tenripeppang, cucu dari LA Patiroi arung cinnotabi.
Pada mulanya La Palewo agak keberatan untuk diangkat menjadi raja dengan alsan bahwa dirinya dungu,penakut, miskin lagi lemah. Tetapi arung saotanre mengatakan bahwa terima saja dahulu, karena orang wajo itu pintar,berani,kuat, dan mampu, yang kelak akn kau ketahui setelah memimpin wajo. Dan pada tahun 1474-1481 beliau menjadi raja di wajo dengan gelar arung matowa I.
Arung marowa wajo I La Palewo To Palipu’ raja yang pertama hendak memerangi negeri guna ditaklukan wajo, namun dicegah oleh arung saotanre dengan mengatakan bahwa :“sesuatu yang selalu diubah dan dibentuk biasanya akan membawa kerusakan”
Pada masa pemerintahan arung matowa wajo I orang-orang wajo sepakat untuk membagi empat setiap limpo yaitu bettempola terbagi menjadi , bettempola , botto , ujungkkalakkang, lowa-lowa, sedangkan Talo’tenreng terbagi menajdi : Talo tenreng, To’ciung dan pallekoreng dan Tuwa terdiri dari : Aka’, Lempa’, Menge’, dan kampiri.
Setelah dibagi empat setiap limpo, ditempatkanlah arung mabbicara empat orang setiap limpo (empat orang di bettempola, empat orang di Talo’tenreng dan empat orang di Tuwa, jumlah arung mabbicara seluruhnya adalah tiga puluh orang yaitu 12 orang untuk tiga limpo ditambah enam orang arung mabbicara ria’besereng) setiap limpo. Mereka itulah yang memutus perkara dan menentukan hak-hal yang akan dibicarakan menyangkat orang-orang wajo.
Yang disebut dengan wajo adalah ketiga limpo yaitu bettempola, Talo’tenreng dan Tuwa adala sumber orang kuat , dan Tuwa adalah adalah sumber kekayan wajo. Setelah 7 tahun lamanya La Palewo To Palipu’ memangku jabatan arung matowa, beliau mangkat. Rakyat wajo kembali meminta La Tadampare untuk mengantikannya, namun beliau masih tetap menolak dengan alas an yang sama seperti semula.
Pilihan jatuh pada La O’bi Settiriware yang pada waktu itu menjadi pa’danreng di bettempola anak dari arung saotanre yang pertama La Datuale ipar (sepupu sekali) dari arung saotanre La Tiringeng To Taba. Sudah merupakan kebiasan bahwa raja yang terpilih harus melepaskan semua jabatan yang dipangkunya, maka jabatannya sebagai pa’danreng bettempola digantikan oleh anaknya yang bernama To Angkone dan jabatan sebagai arung simettempola atau arung bettempola tetap dipangku oleh La Tiringeng To Taba. Cara pengangkatannya pun sama dengan arung matowa I, yang berbeda hanya soal jawab antara Settiriware dengan para pejabat kerajaan lainnya yaitu Settiriware menanyakan asal mula wajo dan orang-orang wajo, yang dijawab oleh arung settempola bahwa asal-usul orang-orang wajo adalah orang-orang Sarinyameng, saebawi, sekkanasu, dan cinnotabi. Kemudian masuklah orang-orang bugis dari sebelah selatan sungai walenae yaitu orang-orang Timurung, Sailong, Babauae, dan orang-orang bone yang lain serta orang-orang luwu di wajo. Dinyatakan pula asal mula ketiga limpo dan dinyatakan bahwa walaupun terdapat tiga limpo, tetapi wajo hanya satu, limpo satu, ata (warga kerajaan) satu, bicara satu, ade’ satu,. Ada juga yang disebut orang kaya bila sawahnya yang diolah, kerbaunya yang dipakai membajak, anaknya yang mengemabala, dan isterinya yang menenun panggali (kain pemalut pinggang).
Diungkapkan kembali hak-hak kebebasan rakyat dan ditegaskan oleh arung simettempola bahwa harta benda orang-orang wajo yang berasal dari pembelian tidak boleh diambil oleh penguasa tanpapengganti kerugain sejumlah harga pembeliannya. Terlebih-lebih harta benda dari warisan orang tua mereka sama sekali tidak boleh diambil oleh para bangsawan dan pejabat kerajaan, sekalipun dengan pengganti kerugian, kecuali orang-orang wajo rela melepaskan harta benda mereka. Hal tersebut juga termasukhak kebebasan (kemerdekaan) orang-oranng wajo yang menyatakan bahwa “saling mengambil harta warisan orang-orang wajo dan atas, pemerintahan dan Rkyat”
 Seperti halnya La Palewo To Palipu mencoba memperluaskan kekuasaan yang besar, maka beliau mengatakan bahwa diapun bersedia mengiakan permintaan orang-orang wajo, dikalau kehendak dan katanya yang menentukan demi kebaikan orang-orang wajo, [elok;mu kua, adakku tongeng ri adecengenna tnamu to wajo’e.

D.    Kepemimpinan La Maddukelleng (Sultan Pasir)
LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma'dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).
Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.
La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714.
Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.
Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.
Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.
Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.
Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis dihadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki "petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe" yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.














BAB IV
SITUS-SITUS PENINGGALAN KERAJAAN WAJO
A . Makam Kuno
            Menurut informasi bahwa di desa tosora terdapat banyak mekam-makam kuno yang tersebar di mana-mana, baik yang terkonsentrasi pada beberapa kompleks pemakaman maupun yang tersebar secara acak.



Menurut cerita masyarakat bahwa makam dengan dua nisan meriam, adalah makam dari Renreng Benteng Pola La Gau dengan gelar Matinroe Ri Masigina
Makam La Taddangpare puangrimagalatu



B . Masjid Tua Tosora
            Masjid tua Tosora merupakan masjid raya yang pertama di bangun di wilayah Kerajaan Wajo oleh Arung Matowa Wajo XV La Pakkalongi To Alinrugngi pada tahun1628.

Sisa Masjid Putih Telur tampak dari sebelah timur laut, sebelah baratnyaterdapat beberapa makam dan sebelah timur bekas sumur atau Bung Parani


C . ISTANA RAJA (SEORAJA)
Duplikat isatana raja La Tenri Bali (arung matoa



D . HURUF LONTARA                                                      E . SONGKO



BAB V
KESIMPULAN
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya. Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu.
Demikianlah kearifan lokal dari budaya wajo, semoga kita bisa meneladani sifat para raja wajo yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah. Selalu mengikuti keinginan rakyat bukannya mempermainkan rakyat dengan janji-janji manis. Raja wajo adalah orang yang rendah diri, menghormati anggota dewan, sayang dengan rakyat, jujur, ulet, menghindari sifat tercela. Orang wajo bebas berpendapat tetapi menghindari kata-kata yang yang tercela apalagi menyinggung. Marilah kita lestarikan nilai kearifan budaya kita dengan tetap santun, menghormati kemerdekaan yang ada pada orang lain. Jangan sampai terjadi seperti ucapan salah satu pemerhati budaya wajo. Beliau menyatakan jangan sampe warisan budaya ammaradekangenna to wajoe (kemerdekaan orang wajo) kita salah artikan menjadi ”MARADEKA TO WAJOE MATANRE SIRI TAPI DE’ NAPPAU, ANDI’E NAPAPUANG
(merdeka orang wajo, rasa malunya tinggi tapi cuma diam, andi(bangsawan) saja yang di tonjolkan/diabdikan/dijunjung/disanjung/dihormati).









DAFTAR PUSTAKA

 

·         Blog : Yusran Darmawan, email : timurangin@yahoo.com


·         Blog : Andi Brilin yang bersumber dari :
1.      Wajo Abad XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
2.      Munculnya Kerajaan Elektif Wajo, Suatu Percobaan untuk Menemukan Hari Jadi Daerah Wajo;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985
3.      Sejarah Singkat Hari Jadi Wajo;
Drs. Hamid M. ; Andi Pabbarangi ; Dammar Jabbar, Maret 2000
4.      Panitia Hari jadi Wajo (HJW). ke-610 Tahun 2009
5.      www.wajokab.go.id
·         Sejarah Kerajaan Wajo : Posted by aldin zein on March - 7 - 2011
·         Nurdjannah abbas,Dra,1981,suatu tinjauan tentang kepemimpinan arung matowa wajo IV La Tadampare Puang ri Maggalatung.